Horas!
Dongan BK, Dalam adat istiadat masyarakat Batak, berbagai elemen alam dimanfaatkan sebagai bagian dari ritual sakral, termasuk tumbuhan. Salah satu tanaman yang memiliki peran penting dalam prosesi pemakaman adalah sijagaron. Meski kerap disebut sebagai “tanaman kematian” karena sifatnya yang beracun jika dikonsumsi, sijagaron justru dianggap suci dan simbolis dalam konteks budaya Batak.
Sijagaron biasanya tumbuh liar di kawasan hutan dan tidak mudah ditemukan di sekitar pemukiman. Oleh karena itu, saat ada keluarga yang akan menggelar upacara kematian, mereka harus mencarinya langsung ke alam bebas. Namun, belakangan ini, beberapa masyarakat Batak mulai membudidayakan tanaman ini di pekarangan atau kebun, sebagai langkah pelestarian dan agar tidak kesulitan saat dibutuhkan dalam upacara adat.
Apa Fungsi Sijagaron?
Dalam pelaksanaannya, sijagaron digunakan dalam berbagai bentuk. Daunnya sering dijadikan bagian dari bunga rampai yang ditaburkan atau ditempatkan di sekitar peti jenazah. Selain itu, daun sijagaron juga dialasi di tanah saat pemakaman berlangsung, berfungsi menyerap kelembapan dan menjaga kondisi tanah di area kuburan.
Menariknya, meski dikenal memiliki efek toksik, dalam praktik pengobatan tradisional Batak, beberapa bagian tanaman sijagaron juga diyakini berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit tertentu—meskipun penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati dan sesuai pengetahuan turun-temurun.
Lebih dari sekadar tanaman, sijagaron merepresentasikan nilai simbolik dan spiritual yang tinggi dalam adat Batak. Penggunaannya dalam prosesi pemakaman adalah bentuk penghormatan terhadap leluhur serta bagian dari pelestarian tradisi yang sarat makna. Masyarakat Batak memandangnya bukan sekadar sebagai tanaman, melainkan warisan budaya yang layak dijaga dan diwariskan ke generasi berikutnya.