Horas!
Dongan BK, masyarakat Batak dikenal memiliki kekayaan tradisi dan budaya yang kental dengan unsur spiritual dan supranatural. Di antara berbagai kisah magis yang berkembang dari generasi ke generasi, ada satu ritual yang begitu mencekam dan misterius, dikenal dengan nama Sibiangsa—sebuah bentuk senjata magis yang dipercaya sangat ampuh untuk perlindungan maupun serangan terhadap musuh.
Ritual Sibiangsa bukanlah cerita fiksi belaka. Praktik ini tercatat dalam sejarah lisan dan tulisan, serta diwariskan secara turun-temurun di wilayah seperti Samosir, Silalahi, Simalungun, hingga Tanah Karo. Dalam buku Begu Ganjang: Analisa Psiko–Kultural, Mgr. Dr. Anicetus Bongsu Sinaga OFMCap, mantan Uskup Agung Medan, mengungkapkan bahwa Sibiangsa merupakan bagian dari sistem kepercayaan masyarakat Batak kuno terhadap kekuatan gaib sebagai bentuk pertahanan kampung.
Senjata dari Pengorbanan

Mgr. Anicetus menggambarkan proses menciptakan Sibiangsa yang sangat ekstrem dan kelam. Ritual ini dimulai dengan memelihara seorang anak—biasanya dari kalangan budak—yang diberi makanan terbaik hingga tubuhnya menjadi sehat dan gemuk. Sejak kecil, anak ini diberi sugesti dan sumpah ketaatan mutlak. Pada hari yang ditentukan, dilakukan ritual penyumpahan (manumpa), dilanjutkan dengan pangurigurion (pengwadahan)—di mana cairan logam panas dituangkan ke mulut si anak hingga meninggal. Tubuhnya kemudian dihancurkan dan dimasukkan ke dalam guci, menciptakan semacam “senjata spiritual” yang diyakini bisa menyerang musuh secara magis: membuat mereka gila, bertarung satu sama lain, atau bahkan mati.
Variasi Cerita di Samosir dan Simalungun
Versi lain dari kisah Sibiangsa juga berkembang di Samosir. Seorang warga bermarga Sitanggang mengisahkan bahwa senjata ini berasal dari seorang bayi yang digongseng hidup-hidup hingga tubuhnya mengeluarkan minyak. Minyak tersebut lalu disimpan dalam wadah dan digunakan sebagai alat pelindung atau penghancur dalam peperangan antarkampung.
Di tanah Simalungun, kisah Sibiangsa tercatat dalam tradisi Kerajaan Pagar Panei Bosi pada abad ke-16. Dalam kondisi konflik panjang atau perkara hukum yang rumit, terdakwa akan dibawa ke sebuah tempat sakral bernama cawan Sibiangsa—sebuah guci tertanam dalam tanah yang mengeluarkan uap panas tiada henti. Terdakwa diminta bersumpah (marbija) di hadapan Guru Raya, dan jika dianggap tidak jujur, ia harus mencelupkan tangannya ke dalam guci. Jika benar, tangannya akan tetap utuh. Namun, jika bersalah, bagian tangan yang masuk bisa meleleh atau lenyap seketika—sebagai bentuk hukuman spiritual.
Jejak Arkeologis dan Daya Magis
Penelusuran terhadap peninggalan Sibiangsa terus dilakukan. Sultan Saragih, dalam tulisannya di lovelysimalungun.com, menceritakan bagaimana kekuatan magis Sibiangsa ditemukan dalam bentuk tepung sakti yang dapat membuat tanah longsor, membentuk parit pertahanan alami sedalam 10–20 meter di kawasan Nagur Raya, Serdang Bedagai. Konon, tepung tersebut disebarkan di sepanjang batas kampung, dan esoknya tanah akan runtuh secara misterius, menciptakan medan sulit yang efektif menghalangi serangan musuh.
Di lokasi lain, tepatnya di Desa Dolok Malela, Simalungun, ditemukan guci tanah liat yang diduga sebagai tempat penyimpanan Sibiangsa. Guci ini dikelilingi oleh tujuh patung kecil sebagai penjaga kampung. Menurut juru kunci setempat, guci tersebut kini ditutup rapat oleh batu agar kekuatan magisnya tidak kembali aktif.
Sibiangsa bukan sekadar kisah horor dari masa lalu. Ia adalah potongan sejarah yang menggambarkan bagaimana leluhur Batak mengolah spiritualitas, rasa takut, dan keinginan bertahan hidup menjadi sistem pertahanan yang luar biasa dalam konteks budaya dan zamannya. Walau kini tak lagi dipraktikkan, warisan kisah ini tetap menyimpan daya tarik tersendiri dan menjadi bagian dari identitas magis Tanah Batak.