Horas!
Komisi XIII DPR RI menggelar rapat dengar pendapat terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kerusakan lingkungan yang melibatkan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Dalam kesempatan tersebut, perwakilan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) menyampaikan pandangan tegas mengenai dampak serius kehadiran perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat di Tapanuli Raya.
Mewakili HKBP, hadir tiga tokoh sesuai dengan kuota yang ditetapkan, yaitu Pdt. Dr. Victor Tinambunan, MST (Ephorus), Pdt. A. A. Zaitun Sihite (Praeses HKBP Distrik Sumatera Timur) dan Pdt. Ebsan Hutabarat (Praeses HKBP Distrik Toba). Keduanya diberi kesempatan menyampaikan pandangan singkat dalam forum resmi tersebut.
Seruan HKBP: Tanggung Jawab Iman dan Etika terhadap Alam
Dalam pernyataannya, perwakilan HKBP menegaskan bahwa seruan untuk menutup PT TPL bukan sekadar tuntutan sosial, melainkan bentuk tanggung jawab iman sesuai dengan doktrin gereja.
“HKBP, yang memiliki sekitar tujuh juta jemaat, mengajarkan warganya untuk menjaga ciptaan Tuhan dan menolak segala bentuk perusakan alam. Tanah bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan bagian dari rantai kehidupan yang harus dihormati,” ungkap perwakilan HKBP dalam forum tersebut.
Selain aspek iman, HKBP juga menyoroti bahwa krisis iklim (climate change) merupakan ancaman global nomor satu yang dampaknya kini nyata terasa, termasuk di kawasan Tapanuli Raya. Menurut HKBP, kerusakan alam di wilayah tersebut bukan hanya merugikan masyarakat lokal, tetapi juga memperburuk kondisi ekologis dunia.
Dugaan Pelanggaran HAM dan Ekologis oleh PT TPL
Dalam paparannya, HKBP menyampaikan sejumlah dasar yang memperkuat seruan penutupan PT TPL, antara lain:
- Temuan lapangan langsung yang menunjukkan adanya masyarakat terdampak dan korban akibat konflik lahan dan kerusakan lingkungan.
- Pertemuan dengan para pemimpin gereja dan pendamping masyarakat yang turut menyuarakan keresahan serupa.
- Pernyataan tokoh nasional Luhut Binsar Pandjaitan, yang menilai bahwa tanaman eukaliptus merusak struktur tanah, dan bahwa keberadaan TPL sudah saatnya dievaluasi serius.
- Liputan media massa dan publikasi akademik, termasuk buku Jeritan Bona Pasogit, yang menguraikan secara mendalam dampak sosial dan ekologis dari aktivitas perusahaan.
Berdasarkan berbagai sumber dan pengalaman lapangan tersebut, HKBP menilai bahwa kehadiran TPL telah menimbulkan kerusakan alam yang parah serta korban manusia—baik yang kehilangan nyawa, terluka, maupun mengalami ketidakamanan hidup.
“Ini bukan sekadar pelanggaran terhadap HAM generasi sekarang, tetapi juga terhadap hak-hak generasi mendatang dan bahkan terhadap makhluk hidup lain yang menjadi bagian dari ciptaan Tuhan,” tegas perwakilan HKBP.
Solidaritas dan Tindak Lanjut
Dalam forum yang sama, perwakilan HKBP juga duduk berdampingan dengan Pastor Walden Sitanggang, OFMCap, yang selama ini turut aktif memperjuangkan keadilan ekologis di tanah Batak. Momen ini menjadi ajang refleksi dan pertukaran pandangan lintas denominasi mengenai langkah lanjutan dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat dan pelestarian lingkungan.
“Pertemuan ini bukan akhir, melainkan awal dari upaya bersama untuk memastikan bahwa suara korban, suara alam, dan suara keadilan benar-benar didengar negara,” ujar salah satu peserta dengar pendapat tersebut.
Penegasan Sikap HKBP
Melalui forum resmi DPR RI ini, HKBP kembali menegaskan posisinya untuk berpihak pada keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Seruan “Tutup PT TPL” mencerminkan panggilan moral agar negara tidak abai terhadap jeritan masyarakat Tapanuli Raya yang terdampak langsung oleh eksploitasi lahan dan krisis ekologi yang berkepanjangan.
HKBP menegaskan, perawatan bumi bukan sekadar tanggung jawab ekologis, tetapi juga panggilan spiritual—sebuah tindakan iman untuk menjaga kehidupan yang dianugerahkan Tuhan bagi seluruh ciptaan.