Ilustrasi pasangan Batak yang berbahagia (Samidin Yabes/unsplash.com).
Ilustrasi pasangan Batak yang berbahagia (Samidin Yabes/unsplash.com).
Beranda Budaya Martandang, Tradisi PDKT Romantis dalam Budaya Batak
Budaya

Martandang, Tradisi PDKT Romantis dalam Budaya Batak

Bagikan

Horas!

Dongan BK, Dalam tradisi Batak, seorang pemuda yang memasuki usia dewasa disebut “Doli-Doli Sampe Bunga,” sementara perempuan yang menginjak kedewasaan dikenal sebagai “Namar Baju.” Ketika masa remaja beranjak ke dewasa, perasaan cinta yang disebut “holong” mulai tumbuh. Saat itulah para pemuda melakukan “martandang,” sebuah tradisi kuno yang menjadi ajang pendekatan dengan lawan jenis.

Martandang adalah proses di mana seorang pemuda mengunjungi rumah seorang gadis untuk mengungkapkan perasaannya melalui pantun dan teka-teki, yang dalam budaya Batak disebut “marundang-undangan.” Menurut E.H. Tambunan dalam Sekelumit Mengenal Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, istilah “martandang” secara harfiah berarti keluar dari rumah untuk berkunjung atau bersosialisasi. Tradisi ini memungkinkan pemuda dan gadis Batak bertemu dalam suasana yang penuh kesopanan dan etika.

Bagaimana Martandang Dilakukan?

Dalam praktiknya, martandang biasanya dilakukan pada malam hari, atau yang dalam istilah Batak disebut “telengkup periuk.” Para pemuda akan berkumpul di rumah sang gadis, berbincang dari kolong rumah panggung atau di balik dinding yang terbuka. Sejarawan Jacob Cornelis Vergouwen mencatat bahwa tradisi ini sering dilakukan dalam kelompok, di mana para muda-mudi menghabiskan waktu bersama dengan bercanda dan berbincang di halaman desa. Namun, jika seorang gadis tidak berkenan menerima kunjungan seorang pemuda, ia kerap mendapat teguran dari orang tuanya karena dianggap menolak seseorang tanpa alasan yang jelas.

Sebaliknya, bagi pemuda yang memaksa meski telah ditolak, akan ada konsekuensi sosial berupa hukuman menebus kesalahan. Dalam budaya Batak, penolakan yang tegas harus dihormati dan tidak bisa dipaksakan. Martandang bukan hanya sekadar pendekatan romantis, tetapi juga menjadi wadah bagi pemuda untuk mengekspresikan perasaan mereka melalui puisi, pantun, dan peribahasa yang kaya akan nilai budaya Batak.

Menurut E. St. Harahap dalam Perihal Bangsa Batak, tradisi ini juga menjadi kesempatan bagi kaum muda untuk mengasah keterampilan berbahasa dan memahami sastra Batak. Jika seorang gadis membalas pantun seorang pemuda dengan nada yang menggambarkan ketertarikan, maka hubungan mereka akan memasuki tahap yang lebih serius. Semakin sering martandang dilakukan, semakin dekat hubungan keduanya.

Tahap Akhir Menuju Prosesi Pernikahan

Setelah pasangan saling menyatakan ketertarikan, langkah berikutnya adalah memberi tahu orang tua masing-masing. Keluarga kemudian akan mengadakan pertemuan untuk membahas prosesi pernikahan. Pada tahap ini, pemuda akan memberikan hadiah simbolis seperti kain panjang kepada gadis pujaannya, yang kemudian dibalas dengan kain sarung. Tradisi ini dikenal sebagai “tanda burju,” sebuah tanda ikatan cinta di antara mereka.

Dalam proses lebih lanjut, pihak keluarga pria akan mengunjungi keluarga wanita untuk membahas mahar atau “Mondondoni Tanda Burju,” yang dilanjutkan dengan pertemuan resmi antar keluarga yang disebut “Marhori Hori Ding Ding.” Proses ini menjadi bagian dari adat Batak yang menekankan pentingnya perkawinan sebagai penyatuan dua keluarga dalam sistem kekerabatan “dalihan na tolu.”

Selain martandang, prosesi adat pernikahan Batak melibatkan berbagai simbol budaya seperti beras, ulos, daun sirih, jambar (daging), dan uang sebagai bagian dari upacara sakral. Peran setiap individu dalam prosesi ini sudah ditentukan sesuai adat.

Namun, dengan masuknya pengaruh modernisasi dan pendidikan formal, martandang perlahan mulai ditinggalkan. Sejarawan Paian Sihar Naipospos dalam Aku dan Toba: Catatan dari Masa Anak-anak menyebut bahwa tradisi ini mulai menghilang sejak misi Zending masuk ke tanah Batak, mendorong masyarakat untuk mengadopsi cara pendekatan yang lebih modern, seperti menulis surat. Bahkan, ada masa di mana para orang tua melarang anak perempuan mereka bersekolah lebih tinggi karena khawatir mereka akan belajar menulis surat cinta.

Meskipun demikian, Naipospos menegaskan bahwa martandang sebenarnya merupakan adat yang baik dan penuh kesopanan. Tradisi ini memberikan kesempatan bagi pemuda dan pemudi untuk mengenal satu sama lain sebelum menikah, sehingga memungkinkan mereka membuat keputusan yang lebih matang dalam memilih pasangan hidup.

Bagikan
ads image
ads image
ads image
Artikel Terkait
Mengenal tradisi Mangarihiti Batak Toba.
Budaya

Tradisi Mangarihiti, Menyapa Leluhur dalam Semangat Paskah Batak Toba

Horas! Dongan BK, di tengah keberagaman budaya Indonesia, setiap suku memiliki cara...

Ilustrasi perempuan Batak di Rumah Bolon.
Budaya

Mengenal Panggilan di Setiap Puak Batak, Simbol Kekayaan Budaya

Horas! Dongan BK, suku Batak yang berasal dari wilayah Sumatra Utara dan...

Mengenal ritual Sibiangsa, peninggalan Batak Kuno.
Budaya

Sibiangsa, Jejak Kelam Senjata Magis dari Tanah Batak

Horas! Dongan BK, masyarakat Batak dikenal memiliki kekayaan tradisi dan budaya yang...

Monumen atas Tragedi Lobu Pining, wafatnya martir Lyman & Munson.
Budaya

Tragedi Lobu Pining, Dua Misionaris Amerika yang Gugur di Tanah Batak

Horas! Dongan BK, pernahkah klean mendengar nama Munson dan Lyman? Dua orang...