Horas!
Dongan BK, suku Batak memiliki adat dan budaya yang kental, serta beragam tradisi yang terus dijalankan hingga saat ini. Adat yang diwariskan secara turun temurun yang mengandung nilai yang luhur dari generasi kegenerasi berikutnya. Salah satunya adalah filosofi hidup Dalihan Na Tolu.
Dalihan Na Tolu, atau yang sering diterjemahkan sebagai “tiga tungku”, adalah konsep filosofis dan sosial yang menjadi jantung kehidupan masyarakat Batak. Lebih dari sekadar sistem kekerabatan, Dalihan Na Tolu adalah pandangan hidup yang mengatur hubungan antar manusia dalam masyarakat Batak.
Lantas seperti apa arti dari filosofi Dalihan Na Tolu suku Batak?
Mendalami Makna di Balik Tiga Tungku
Konsep Dalihan Na Tolu atau “tiga tungku” merujuk pada tiga hubungan kekerabatan utama dalam masyarakat Batak, berikut adalah penjelasannya.
1. Somba Marhula-hula
Walau kata Somba diartikan dengan som atau menyembah, namun kata Somba di sini menekan pada ba yang artinya hormat. Jadi, somba marhula-hula adalah hormat kepada Hula-hula. Hula-hula adalah kelompok marga istri, kelompok marga ibu, kelompok marga istri ompung, kelompok marga istri anak, dan seterusnya dari kelompok dongan tubu. Hula-hula kerap dimaknai sebagai sumber berkat, salah satunya adalah hagabeon atau keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hula-hula. Tanpa adanya hula-hula, maka tidak akan ada keturunan.
2. Elek Marboru
Elek marboru artinya adalah rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi atau pamrih. Boru adalah sebutan untuk anak perempuan, atau kelompok marga yang memperistri anak perempuan kita. Sikap lemah lembut terhadap boru itu perlu, karena ia dapat diharapkan membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tanpa boru, mengadakan suatu pesta menjadi hal yang tidak mungkin dilakukan.
3. Manat Mardongan Tubu atau Sabutuha
Ini berarti suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati–hati dengan teman semarga. Orang tua-tua berkata, “hau na jonok do na boi marsiogoson,” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan, dan lain-lain.
Dalihan Na Tolu dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalihan Na Tolu tidak hanya mengatur hubungan kekerabatan, tetapi juga mengatur berbagai aspek kehidupan sehari-hari masyarakat Batak, seperti:
- Perkawinan: Perkawinan dalam masyarakat Batak sangat diatur oleh adat Dalihan Na Tolu, mulai dari pemilihan pasangan hingga pelaksanaan upacara adat.
- Pewarisan harta: Pewarisan harta dalam masyarakat Batak juga mengikuti aturan Dalihan Na Tolu, di mana harta warisan biasanya dibagi rata kepada seluruh anggota marga.
- Penyelesaian konflik: Konflik yang terjadi dalam masyarakat Batak biasanya diselesaikan melalui musyawarah adat yang dipandu oleh Dalihan Na Tolu.
Dengan ini, Dalihan Na Tolu adalah kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang menyatukan satu kelompok.
Di daerah Tapanuli, terdapat Perda No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Na Tolu, yaitu suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya.
Dalihan Na Tolu adalah warisan budaya yang sangat berharga bagi masyarakat Batak. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti gotong royong, musyawarah, dan penghormatan terhadap orang tua, masih sangat relevan hingga saat ini. Dengan memahami Dalihan Na Tolu, kita dapat lebih menghargai keragaman budaya Indonesia