Horas!
Dongan BK, daging babi telah menjadi bagian penting dalam tradisi kuliner dan upacara adat masyarakat Batak. Walau tidak termasuk dalam hewan persembahan suci seperti kerbau atau kuda, babi tetap memainkan peran sentral, terutama dalam kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat.
Sejarah mencatat bahwa babi sudah lama dipelihara dan dikonsumsi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Di masyarakat Batak, babi dikenal dengan berbagai sebutan seperti babi, pinahan lobu, atau secara halus disebut horbo na metmet (kerbau kecil). Secara biologis, babi adalah hewan omnivora yang mudah dipelihara dan berkembang biak dengan cepat—memiliki anak 8–14 ekor dalam satu kelahiran.
Menurut penelitian Defri Elias Simatupang, sebelum masuknya pengaruh luar, orang Batak lebih mengutamakan kerbau (horbo), sapi (lombu), dan kuda (hoda) dalam acara adat dan persembahan. Kuda bahkan disebut sebagai persembahan tertinggi bagi Tuhan (Debata), melebihi kerbau, sebagaimana tercermin dalam peribahasa Batak.
Meski tidak disakralkan, babi mulai banyak digunakan dalam pesta adat karena alasan praktis dan ekonomis. Babi dianggap sebagai pilihan daging termurah dan mudah diperoleh oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Dalam pesta kecil (15 orang ke bawah), babi menjadi pilihan utama. Untuk pesta yang lebih besar, sapi atau kerbau digunakan, tergantung kemampuan finansial tuan rumah.
Pengaruh Sistem Parjambaron
Pembagian daging babi dalam adat Batak mengikuti sistem “jambar”—hak atas daging kurban yang diatur berdasarkan struktur kekerabatan Dalihan Na Tolu. Proses pembagian dilakukan secara terbuka dan transparan, melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Bahkan potongan tulang dianggap lebih penting dari daging karena simboliknya yang kuat.
Seiring waktu, babi menjadi pilihan utama dalam banyak pesta adat, terutama bagi keluarga yang belum dianggap “paradongan” (berstatus sosial tinggi). Bagi kalangan mampu, menggunakan kerbau atau sapi menjadi bentuk penghormatan sosial.
Meski ada perdebatan tentang sejak kapan babi dikonsumsi orang Batak, sebagian sejarawan menyebut kehadiran babi domestikasi datang bersamaan dengan pengaruh bangsa Eropa akhir abad ke-19. Namun ada juga bukti bahwa babi liar sudah ada jauh sebelum itu.
Saat ini, daging babi bukan hanya menjadi kebutuhan konsumsi, tapi juga simbol persatuan dan solidaritas sosial di antara masyarakat Batak. Babi mungkin bukan persembahan untuk Tuhan, tapi tetap menjadi “persembahan” bagi manusia dalam konteks budaya dan adat.