Horas!
Pada Maret 1907, Kapten Hans Christoffel bersama pasukan Marsose berangkat dari Cimahi menuju Tanah Batak. Satuan ini, yang dikenal sebagai Garnizoens Compagnie van Tapanoeli, tiba di Sibolga pada April 1907 dengan satu tujuan: menumpas perjuangan terakhir Raja Sisingamangaraja XII dan pasukannya.
Sebelum pertempuran besar terjadi, Komptrolir Kok masih berupaya menawarkan penyerahan diri melalui Ompu Somba Debata Situmorang, mertua Sang Raja. Namun, tawaran itu ditolak. Sisingamangaraja XII tetap teguh pada sumpahnya: berjuang sampai titik darah penghabisan demi harkat dan martabat rakyat Batak.
Perang Terakhir di Tanah Batak
Pasukan Marsose yang dipimpin Christoffel bergerak menuju Harianboho, setelah memperoleh laporan intelijen tentang pergerakan pasukan Sisingamangaraja. Di sana mereka sempat menyergap kelompok pejuang di bawah pimpinan Ompu Babiat, yang berhasil meloloskan diri dan mundur ke Pinem.
Pertempuran demi pertempuran pun terjadi, termasuk bentrokan sengit di Sungai Passinaron dan Solok, yang menelan banyak korban di pihak pejuang Batak.
Di tengah situasi genting itu, Sisingamangaraja XII menerima kunjungan Ompu Partahan Batu dari Sosor Lutung, Muara. Ia datang membawa simpati dan dukungan moral bagi perjuangan yang kian berat.
Namun, Sang Raja mulai merasakan firasat akhir perjuangannya. Ia kemudian meminta diadakan upacara “Sulang Sulang”, sebagai bentuk perpisahan dan penyerahan amanat terakhir kepada keluarga dan pengikutnya. Seusai upacara, keluarga dan anak-anaknya diberangkatkan dengan pengawalan beberapa panglima setia menuju tempat aman.
Sayangnya, rombongan itu tertangkap oleh pasukan Marsose dan dibawa ke Tangsi Militer Sidikalang. Tak lama kemudian, pada Mei 1907, keluarga Sisingamangaraja XII ditahan, hanya beberapa pekan sebelum Sang Raja gugur.
Gugurnya Sang Raja Tanah Batak
Dalam pertempuran di Si Onom Hudon dan Pearaja, pasukan Sisingamangaraja XII mengalami kekalahan besar. Sang Raja bersama dua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi, gugur sebagai syuhada tanah Batak.
Jenazah ketiganya dibawa oleh Belanda dari hutan Sindias menuju Pearaja (Dairi), kemudian ke Lintong, Tele, Harianboho, dan akhirnya disemayamkan di Pangururan. Dari sana, jenazah dipindahkan ke Balige dan Tarutung, tempat mereka dimakamkan dalam satu liang di depan tangsi militer pada 22 Juni 1907, dengan penghormatan militer dari pihak Belanda.
Foto dalam Duka
Kabar gugurnya Sang Raja sampai ke telinga keluarganya yang masih ditahan di Sidikalang. Mereka yang terdiri atas Boru Situmorang (ibunda Raja), Sailan Boru Sagala dan Nantingha Boru Nadeak (istri Sisingamangaraja XII), serta Nainga Boru Situmorang (istri Patuan Nagari), memohon izin untuk melihat jasad Sang Raja untuk terakhir kalinya.
Perjalanan panjang pun ditempuh dari Sidikalang ke Silalahi, dilanjutkan dengan kapal motor menuju Pangururan, lalu ke Balige, dan akhirnya ke Siborongborong dengan berjalan kaki melalui jalan berbukit dan hutan.
Di Siborongborong, saat rombongan beristirahat, Kontrolir Ypes dari pihak Belanda memotret mereka.
Foto itu menjadi satu-satunya dokumentasi keluarga Sisingamangaraja XII selama masa perang gerilya yang berlangsung hampir tiga dekade — potret keluarga dalam duka yang dalam, ketika mereka tiba di Tarutung dan mengetahui bahwa Sang Raja serta dua putranya telah dimakamkan.
Akhir Sebuah Dinasti
Bersama keluarga besar, turut ditangkap pula anak-anak kecil seperti Sunting Mariam, Buntal, dan Pangkilim. Mereka kemudian “diasuh” oleh Belanda, dibaptis, dan ketika dewasa dibawa ke Jawa untuk disekolahkan.
Sisa keluarga Sang Raja ditempatkan di rumah panjang dalam kompleks tangsi militer Tarutung, hidup dalam pengawasan dan tidak pernah kembali ke Bakkara, tanah asal sekaligus pusat Kerajaan Sisingamangaraja.
Warisan yang Tak Pernah Padam
Meski perjuangan fisik Sang Raja berakhir di tahun 1907, semangat perlawanan dan martabatnya tetap hidup di hati masyarakat Batak hingga kini. Foto keluarga yang diabadikan di Siborongborong itu menjadi saksi bisu pengorbanan terakhir keluarga pejuang Tanah Batak, yang berjuang bukan untuk tahta, tetapi untuk kehormatan dan kebebasan bangsanya.


