Horas!
Dongan BK, dalam budaya Batak, memilih calon menantu bukanlah perkara sepele. Proses ini dijalani dengan penuh pertimbangan melalui nilai-nilai yang mirip dengan konsep Jawa tentang bibit, bebet, bobot. Orangtua Batak secara turun-temurun menerapkan prinsip serupa dalam menjalankan tanggung jawab mereka untuk menikahkan anak: “bolon boru pamulion, magodang anak pangolihonon.”
Sebelum pernikahan berlangsung, keluarga akan melakukan proses yang dikenal dengan sebutan mangaririt, yaitu upaya untuk memilih pasangan terbaik bagi anak, baik perempuan maupun laki-laki. Istilah ini berasal dari kata ririt yang berarti memilih, mempertimbangkan, dan menimbang secara matang.
Meski dalam banyak kasus pihak pria biasanya yang memilih, dalam budaya Batak justru pihak perempuan yang lebih teliti dalam proses ini. Ungkapan “ririt ninna paranak, riritan dope parboru” mencerminkan bahwa kedua belah pihak melakukan proses seleksi, namun keluarga perempuan sering kali lebih ketat dalam mempertimbangkan calon menantu.
Apa yang Dinilai dalam Mangaririt?
Penilaian dalam mangaririt mencakup tiga aspek utama:
- Bibit – Latar belakang keluarga dan garis keturunan calon menantu.
- Bebet – Status sosial, ekonomi, serta reputasi keluarga calon menantu.
- Bobot – Kepribadian, nilai moral, iman, akhlak, serta kecakapan hidup dari calon pasangan itu sendiri.
Ketiga aspek ini penting agar pernikahan tidak hanya menjadi penyatuan dua individu, tetapi juga dua keluarga besar. Harapannya, pernikahan dapat menjadi awal kehidupan yang damai, bahagia, dan langgeng — “rongkap na gabe, rongkap matua sahat tu na saur matua, marnini marnono.”
Mengapa Perlu Hati-Hati?
Dalam budaya Batak, pernikahan dianggap sangat sakral. Wanita yang menikah akan menjadi bagian dari marga suami secara penuh — melebur dalam klan tunggane boru, soripada, dan paniaran marga. Sementara itu, pria akan menjadi pamoruan atau bagian dari keluarga pihak istri yang diharapkan dapat diandalkan secara sikap dan perbuatan.
Oleh karena itu, keluarga dari kedua belah pihak akan mencari tahu dengan teliti tentang calon menantu: apakah ia menjunjung adat, memiliki moral yang baik, pekerja keras, serta berasal dari keluarga yang terhormat. Kecantikan atau ketampanan bukanlah hal utama. Jika akhlaknya baik dan pekerjaannya layak, maka itulah yang dianggap na uli — baik dan pantas.
Ketika Orangtua Tidak Merestui
Tidak jarang terjadi, di tengah proses mangaririt, orangtua memutuskan untuk tidak merestui rencana pernikahan anaknya. Hal ini bukan semata karena tidak suka, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab moral agar keluarga tidak menanggung malu di kemudian hari akibat keputusan yang terburu-buru.
Dalam filosofi Batak, perceraian bukan sekadar peristiwa pribadi, tetapi menjadi aib yang mencoreng nama keluarga. Karena itu, restu orangtua sangat penting demi kelanggengan pernikahan.
“Tinallik bulung si hupi, pinarsaong bulung sihala, unang sumolson di pudi alani sipasingot na so ada” — jangan menyesal di kemudian hari karena mengabaikan nasihat bijak dari orangtua.