Horas!
Dongan BK, dalam sejarah masyarakat Batak Toba yang masih kuat dipengaruhi sistem patriarki, sosok Julia Sarumpaet-Hutabarat hadir sebagai pelopor perubahan. Ia bukan sekadar seorang guru, melainkan juga aktivis yang berani menentang ketidakadilan gender dan memperjuangkan kesetaraan perempuan.
Keberanian Julia dalam menyuarakan hak-hak perempuan membuatnya dikenang sebagai salah satu tokoh perempuan paling berpengaruh dari Sumatra Utara.
Awal Kehidupan dan Pendidikan
Julia lahir pada tahun 1916 dari keluarga terpandang yang menaruh perhatian besar pada pendidikan. Ayahnya, Renatus Hutabarat, adalah seorang demang, sementara ibunya, Marselina boru Tobing, berasal dari keluarga pendeta.
Lingkungan keluarga yang berorientasi pendidikan memberi Julia kesempatan langka di zamannya: menempuh sekolah tinggi bagi perempuan Batak. Ia bersekolah di HIS (Hollandsch Inlandsche School) dan kemudian melanjutkan ke HIK (Hollandsch Inlandsche Kweekschool) di Solo.
Lulus pada tahun 1936, Julia mengabdikan dirinya sebagai guru di HIS Pematang Siantar. Setelah Indonesia merdeka, ia dipercaya menjadi kepala sekolah kepandaian putri.
Jejak Aktivisme Sosial dan Politik
Tidak berhenti di dunia pendidikan, Julia aktif dalam organisasi perempuan. Pada 1950-an, ia menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI).
Melalui PWKI, Julia bergerak dari desa ke desa di Tapanuli, membentuk kelompok perempuan dan memberikan penyuluhan tentang hak-hak mereka. Ia mendorong perempuan Batak agar tidak lagi menganggap dirinya warga kelas dua yang hanya dihargai dari jumlah anak laki-laki.
Pada Pemilu 1955, Julia dan PWKI juga memainkan peran penting dalam menggalang suara perempuan untuk kemenangan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Ia mengajak perempuan berani tampil dalam politik, menegaskan bahwa mereka punya peran sama dalam pembangunan bangsa.
Kritik Julia Hutabarat terhadap Patriarki
Julia adalah salah satu sedikit perempuan Batak yang berani mengkritik keras budaya patriarki. Dalam tulisannya, ia mengungkap ketidakadilan yang dialami perempuan Batak, terutama terkait pandangan bahwa anak laki-laki lebih berharga dibanding anak perempuan.
Dalam tulisannya yang terkenal berjudul “Lagi-lagi Anak Perempuan”, Julia menggambarkan seorang ayah yang kecewa karena memiliki tujuh anak perempuan tanpa anak laki-laki. Julia menolak pandangan itu dengan tegas, menegaskan bahwa setiap anak memiliki nilai yang sama, tanpa memandang jenis kelamin.
Warisan Pemikiran Julia Hutabarat
Selain pidato dan ceramah, Julia banyak menulis di majalah Melati terbitan PWKI, majalah zending Belanda, hingga sebuah buku yang diterbitkan di Jerman pada 1966.
Ia juga aktif membantu perempuan yang terjerat masalah hukum adat atau mengalami ketidakadilan dalam rumah tangga. Julia menekankan bahwa perempuan berhak membela diri dan setara di hadapan hukum.
Inspirasi Perempuan Batak dan Indonesia
Julia Hutabarat bukan hanya seorang pendidik, melainkan pemimpin dan pejuang. Ia menanamkan kesadaran bahwa perempuan Batak berhak mendapatkan pendidikan, kesempatan, dan pengakuan yang sama seperti laki-laki.
Dedikasinya menjadikan Julia sebagai tokoh penting dalam sejarah Indonesia, terutama dalam perjuangan kesetaraan gender di komunitas Batak Toba. Namanya patut dikenang, tidak hanya sebagai guru, tetapi juga sebagai pahlawan perempuan yang membuka jalan bagi generasi berikutnya.