Horas! Mejuah-juah!
Di Tanah Karo, berdiri sebuah batu besar yang menarik perhatian siapa pun yang melewatinya. Batu itu bukanlah batu biasa, namun di dalamnya terdapat pintu dan ruang seperti rumah. Warga setempat percaya, batu ini adalah tempat tinggal makhluk halus yang dikenal sebagai Umang atau orang Bunian.
Lantas, seperti apa cerita Umang dalam legenda suku Karo?
Awal Kisah di Kampung Uruk Rambuten
Konon, dahulu kala ada sebuah perkampungan kecil bernama Uruk Rambuten. Kampung ini hanya dihuni beberapa keluarga dari merga Ketaren. Di tengah perkampungan itu berdiri sebatang pohon beringin besar yang menjadi pusat kehidupan warga.
Di kampung itu hiduplah seorang peladang bernama Bulang Ketaren. Suatu hari, Bulang berencana membuka hutan di sekitar kampung untuk dijadikan ladang padi. Saat dalam perjalanan, ia bertemu dengan sosok aneh bertubuh kecil dengan kaki terbalik—tumit menghadap ke depan dan jari ke belakang. Makhluk itu memperkenalkan diri sebagai Umang.
Perjanjian dengan Makhluk Gaib
Umang menawarkan bantuan kepada Bulang untuk membuka hutan, dengan satu syarat: jangan pernah membawa perempuan atau anak-anak ke tempat itu. Bulang menyetujui, meski istrinya baru melahirkan.
Ajaibnya, hanya dalam satu hari, hutan seluas tiga hektar berhasil dibersihkan berkat bantuan para Umang.
Ketika Bulang pulang, istrinya tak habis pikir, bagaimana mungkin pekerjaan sebesar itu selesai dalam sehari? Rasa penasaran membuatnya memutuskan untuk diam-diam mengikuti suaminya ke ladang keesokan harinya.
Namun kehadiran sang istri membuat Umang murka. Ia menuduh Bulang melanggar janji, dan seketika lahan yang sudah dibuka kembali berubah menjadi hutan lebat. Semua hasil kerja lenyap begitu saja.
Menyesal, Bulang pun berusaha membuka lahan itu sendiri. Saat membersihkan hutan, ia menemukan sebongkah batu besar yang kemudian dikenal masyarakat sebagai Gua Kemang atau Gua Umang, tempat yang dipercaya sebagai kediaman para Umang.
Asal Usul dan Cerita Mistis Gua Kemang
Dalam bahasa Karo, “Umang” berarti roh atau makhluk halus. Menurut penuturan warga bernama Tolen Ketaren, Umang berwujud seperti manusia, hanya saja lebih kecil dan memiliki kaki yang terbalik.
Pada tahun 1970-an, warga masih sering mengaku bertemu dengan makhluk ini. Beberapa bahkan sempat “dibawa” ke dunia mereka dan kembali dalam keadaan berbeda “tidak lengkap,” begitu kata orang-orang tua di sana.
Dahulu, batu besar ini juga disebut Gua Umang. Karena dianggap keramat, banyak orang datang bertapa dan membawa sesajen. Mereka yang melewati kawasan itu biasanya berhenti sejenak untuk berdoa di depan batu tersebut. Dari kebiasaan itulah nama Sembahe dipercaya yang berasal dari kata “sembah e,” yang berarti “sembah ini.”
Tolen juga bercerita bahwa batu tersebut kadang menghilang begitu saja. Menurut kepercayaan masyarakat, jika batu itu tak tampak, berarti para Umang sedang menempatinya. Ketika mereka pergi, barulah batu itu terlihat kembali.
Jalan Bawah Tanah dan Batu Penjemuren
Cerita rakyat menyebutkan adanya jalan bawah tanah yang menghubungkan Gua Kemang dengan sebuah batu besar lain bernama Batu Penjemuren, tempat Umang menjemur padi. Batu Penjemuren ini berbentuk datar di bagian atasnya dan terletak di tepi Sungai Sembahe, sekitar satu kilometer dari Gua Kemang. Meski begitu, jalur bawah tanah itu tak pernah benar-benar ditemukan.
Menariknya, saat masa penjajahan Belanda, gua batu ini pernah hendak dipindahkan ke luar negeri, tetapi upaya itu gagal total, batu seolah tak bisa digeser sama sekali. Warga percaya, kekuatan gaib para Umang-lah yang menjaganya.
Jejak yang Masih Hidup?
Hingga kini, sebagian masyarakat meyakini bahwa penghuni gaib masih menempati Gua Kemang. Menurut warga setempat yang sering mengantar pengunjung ke lokasi gua tersebut, terkadang masih terdengar suara atau terlihat cahaya dari dalam.
Sementara itu, Kampung Uruk Rambuten—yang dianggap sebagai asal mula Desa Sembahe—kini tak lagi berpenghuni. Lokasinya berdekatan dengan tempat jatuhnya pesawat Garuda Indonesia pada 26 September 1997. Menurut cerita warga, pesawat itu kemungkinan tersangkut di pohon beringin besar di tengah bekas kampung tersebut—pohon yang diyakini saksi bisu berbagai peristiwa mistis di Tanah Karo.


