Horas! Mejuah-juah!
Pemena, atau yang juga dikenal dengan sebutan Perbegu, merupakan sistem kepercayaan tradisional tertua yang dianut oleh masyarakat Karo di Sumatra Utara. Istilah Pemena sendiri berarti “yang pertama” atau “yang awal,” menggambarkan keyakinan asli yang telah hidup jauh sebelum agama-agama besar masuk ke wilayah tersebut.
Dalam konteks pengakuan resmi di Indonesia, Pemena kerap digolongkan sebagai bagian dari agama Hindu karena memiliki kesamaan dalam aspek ritual, pandangan spiritual, serta tradisi pemujaannya terhadap kekuatan alam dan roh leluhur.
Simak penjelasan lengkapnya mengenai apa itu Pemena dalam budaya Karo.
Asal-Usul dan Pengaruh Budaya
Suku Karo dipercaya merupakan hasil percampuran antara ras Proto Melayu dan Negroid (Negrito). Legenda kuno tentang Raja Aji Nembah yang menikahi putri dari bangsa umang, yaitu makhluk penghuni gua yang disebut sebagai nenek moyang awal, menjadi kisah yang memperkuat keyakinan akan asal-usul mereka. Hingga kini, di beberapa wilayah Tanah Karo masih ditemukan jejak peninggalan yang dikaitkan dengan kehidupan umang tersebut.
Pada abad pertama Masehi, pengaruh budaya India mulai masuk ke Sumatra seiring dengan migrasi penduduk dari India Selatan yang beragama Hindu. Mereka memperkenalkan tulisan Sansekerta dan Pallawa serta berbagai ajaran spiritual yang kemudian berbaur dengan kepercayaan lokal. Gelombang berikutnya datang pada abad kelima dengan hadirnya ajaran Buddha dan tulisan Nagari, yang kelak melahirkan aksara Batak, Melayu, dan Jawa kuno.
Kedatangan orang-orang India Selatan inilah yang diyakini membawa bentuk awal ajaran Pemena ke Tanah Karo. Dari sinilah masyarakat Karo mulai mengenal sistem tulisan mereka sendiri, yaitu Tulisen Karo, serta mengembangkan pemahaman spiritual yang berakar pada kesatuan antara manusia dan semesta.
Konsep Ketuhanan dalam Pemena
Masyarakat Karo memandang bahwa seluruh kehidupan di alam ini, baik yang tampak maupun yang tak terlihat, berasal dari satu sumber kekuatan ilahi yang disebut Dibata. Konsep Dibata dibagi menjadi tiga aspek utama:
- Dibata Datas – penguasa dunia atas (angkasa), sering disebut juga Guru Batara.
- Dibata Tengah – pengatur kehidupan manusia di dunia, dikenal sebagai Padukah Ni Aji.
- Dibata Teruh – penguasa dunia bawah, yang disebut Tuhan Banua Koling.
Selain ketiga wujud utama itu, terdapat pula dua kekuatan penting dalam sistem kepercayaan Pemena, yakni Sindar Mataniari dan Si Beru Dayang. Sindar Mataniari melambangkan cahaya dan kehidupan, mengikuti perjalanan matahari dari terbit hingga terbenam, menjadi penghubung antara ketiga Dibata. Sementara Si Beru Dayang, roh perempuan penjaga bulan dan pelangi, dipercaya menjaga keseimbangan dunia agar tidak diguncang oleh kekacauan alam.
Pandangan tentang Manusia dan Jiwa
Dalam ajaran Pemena, manusia terdiri dari tiga unsur utama:
- Kula (tubuh),
- Tendi (jiwa atau roh kehidupan),
- Begu (roh arwah setelah kematian).
Ketika seseorang meninggal dunia, tubuhnya akan hancur dan tendi-nya pergi, sementara begu tetap ada di alam lain. Jika tendi berpisah dari tubuh sebelum waktunya, orang tersebut akan jatuh sakit. Oleh karena itu, masyarakat Karo mengenal upacara pemanggilan tendi sebagai bentuk penyembuhan.
Lebih jauh lagi, manusia dalam pandangan Pemena dipahami sebagai cerminan dari alam semesta kecil (mikrokosmos). Dalam diri manusia terdapat perpaduan antara tendi (jiwa), kesah (napas), pusuh peraten (perasaan), ukur (pikiran), dan kula (raga). Keseimbangan antara semua unsur ini menjadi kunci keharmonisan hidup.
Daya pikir manusia tidak hanya menjaga keseimbangan dalam diri, tetapi juga berperan menjaga harmoni dengan alam semesta di luar. Bagi orang Karo, ketidakseimbangan batin akan berpengaruh pada ketidakharmonisan dunia. Oleh sebab itu, berbagai upacara adat dan ritual keagamaan dilaksanakan sebagai bentuk pemulihan keseimbangan antara manusia, alam, dan kekuatan gaib yang menaungi kehidupan.
Warisan Spiritual yang Tetap Hidup
Pemena bukan sekadar sistem kepercayaan kuno, melainkan cerminan hubungan mendalam antara manusia Karo dengan alam sekitarnya. Di dalamnya tersimpan nilai-nilai keseimbangan, penghormatan terhadap leluhur, serta kesadaran bahwa kehidupan manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari semesta. Meski kini banyak masyarakat Karo yang menganut agama-agama besar, jejak ajaran Pemena masih terasa dalam ritual adat, pandangan hidup, dan tradisi spiritual yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.