Horas!
Dongan BK, bentrokan kembali pecah antara masyarakat adat dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Senin (22/9/2025). Akibat kejadian ini, tercatat 33 warga terluka, satu orang hilang, empat rumah rusak, serta lima gubuk tani dibakar. Dari pihak perusahaan, enam karyawan mengalami luka-luka dan dua mobil operasional hangus terbakar.
Versi warga menyebut konflik dipicu oleh upaya mereka mempertahankan tanah ulayat, sedangkan TPL menilai bentrokan terjadi karena warga menghadang proses penanaman dan panen eukaliptus.
Suasana Pascakejadian
S. Ambarita, perwakilan masyarakat adat dari Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), mengatakan suasana masih tegang hingga Selasa (23/9/2025). Warga tetap bertahan di kawasan Buttu Pangaturan karena khawatir adanya serangan lanjutan dari pekerja TPL yang masih terlihat di sekitar lokasi.
Awal Keributan
Menurut Ambarita, bentrokan bermula ketika ratusan pekerja TPL, terdiri dari petugas keamanan dan buruh harian lepas, mendatangi Buttu Pangaturan dengan perlengkapan tameng, kayu, dan helm. Mereka dihadang sekitar 30 masyarakat adat yang meminta digelar dialog mengenai tanah ulayat. Permintaan itu ditolak hingga terjadi saling dorong yang berkembang menjadi pemukulan dan pelemparan batu.
Situasi semakin memanas seiring bertambahnya jumlah pekerja perusahaan di lokasi. Akibatnya, sejumlah rumah, gubuk tani, sepeda motor, dan sebuah mobil pikap ikut dibakar atau dirusak. Beberapa barang pribadi warga juga hancur, termasuk enam ponsel, satu laptop, dan mesin pencacah rumput.
Korban Luka
Data masyarakat mencatat sedikitnya 33 orang terluka, terdiri dari 18 perempuan dan 15 laki-laki. Dari jumlah itu, lima perempuan mengalami luka serius di kepala, mulut, dan tubuh. Seorang anak penyandang disabilitas juga dilaporkan dipukul di bagian kepala. Sejumlah korban dibawa ke rumah sakit menggunakan ambulans.
Klaim Hak Ulayat
Lamtoras menegaskan bahwa mereka memiliki hak ulayat seluas 2.000 hektar di Desa Sihaporas, yang telah dikelola leluhur mereka sejak 1800-an untuk pertanian, hutan, dan pemakaman. Namun, pada 1910-an, lahan tersebut diambil alih Belanda dan ditanami pinus. Pasca kemerdekaan, wilayah itu dimasukkan ke dalam kawasan hutan.
Pada 1990-an, pemerintah memberikan konsesi lahan kepada TPL, yang sejak itu memicu konflik berkepanjangan.
Versi Perusahaan
Kepala Komunikasi PT TPL, Salomo Sitohang, menyebut bentrokan dipicu oleh aksi anarkis sekelompok orang yang menghadang pekerja saat menanam dan memanen eukaliptus di area konsesi Sektor Aek Nauli. Menurutnya, kelompok tersebut melempari pekerja dan kendaraan dengan batu, memblokade jalan dengan kayu, serta membakar dua mobil operasional.
Akibat kejadian ini, enam pekerja TPL terluka dan langsung mendapat perawatan di RSUD Parapat. Salomo menegaskan pihak perusahaan sudah melaporkan peristiwa ini ke aparat agar pelaku segera diproses sesuai hukum.
Status Konsesi TPL
Salomo menjelaskan, TPL menjalankan aktivitas penanaman dan pemanenan di Sektor Aek Nauli berdasarkan izin resmi, yakni Keputusan Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992 yang diperbarui dengan SK Menteri LHK No. 1487/Menlhk/Setjen/HPL.0/12/2021.
Sebagai pemegang izin hutan tanaman industri (HTI), TPL mengelola total konsesi seluas 167.912 hektar di kawasan sekitar Danau Toba, Sumatera Utara.