Horas!
Dongan BK, orang Batak telah mengenal konsep ketuhanan yang tinggi dan unik melalui sosok Debata Mulajadi Na Bolon. Para peneliti misi Barat seperti Johannes Warneck dan H.A. van der Hoven mengungkap bahwa istilah ini merujuk pada Tuhan Pencipta dalam pemahaman masyarakat Batak. Warneck menyebut Debata Mulajadi sebagai pencipta, sedangkan van der Hoven menafsirkannya sebagai “Tuhan Asal Menjadi.”
M.A.M. Renes-Boldingh menambahkan bahwa masyarakat Batak kuno, yang hidup di wilayah pegunungan Sumatera yang terisolasi, diyakini memiliki pemahaman monoteistik yang murni. Mereka mengenal satu Tuhan pencipta langit dan bumi, pengendali nasib manusia, hakim yang adil namun penuh belas kasih. Bahkan dalam ungkapan sehari-hari, masih tersisa jejak spiritualitas ini, seperti kalimat: “Kita semua ada di tangan Tuhan,” atau “Semuanya tergantung Debata.”
Namun, seiring perjalanan waktu dan pengaruh budaya luar seperti Hindu pada abad ke-13 dan ke-14, ajaran asli ini mulai mengalami pergeseran. Sayangnya, masyarakat Batak tidak memiliki kitab suci tertulis, dan ajaran ini diwariskan secara lisan. Tradisi tutur-turian menjadi satu-satunya penjaga nilai-nilai leluhur, meski rentan terhadap variasi dan perubahan dari generasi ke generasi.
Tiga Dewa Utama dan Asal Mula Semesta
Mitologi Batak mengenal Debata Mulajadi Na Bolon sebagai Tuhan yang menciptakan tiga dewa utama: Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan. Mereka dilahirkan dari telur yang dierami Manuk Patiaraja, ayam sakti ciptaan Debata Mulajadi. Ketiga dewa ini kemudian menikahi tiga dewi, dan dari keturunan mereka lahirlah manusia pertama: Si Raja Ihat Manisia dan Si Boru Itam Manisia, yang merupakan cicit dari Debata Mulajadi Na Bolon.
Debata membentuk semesta dalam tiga lapisan kosmis: Banua Ginjang (dunia atas), Banua Tonga (dunia tengah), dan Banua Toru (dunia bawah). Ketiga dewa masing-masing menguasai satu wilayah: Batara Guru di langit, Soripada di bumi, dan Mangala Bulan di bawah tanah. Dalam sistem ini, mereka menjalankan fungsi sebagai pencipta, pengasuh, dan hakim—tritunggal dalam satu kesatuan ketuhanan.
Sebutan Fungsional dan Dewa-Dewa Sekunder
Banyak nama lain dalam mitologi Batak, seperti Debata Idup, Boraspati ni Tano, dan Saniang Naga, sering disalahartikan sebagai dewa-dewa terpisah. Padahal, nama-nama ini sebenarnya merupakan sebutan fungsional dari ketiga dewa utama. Misalnya, Boraspati ni Tano adalah wujud Debata Mangala Bulan sebagai pelindung tanah dan kesuburan, sementara Debata Idup adalah manifestasi Batara Guru sebagai pemberi kehidupan.
Warneck menyatakan bahwa Debata-debata utama ini tidak disembah secara langsung, melainkan lebih dihormati lewat perantara simbol atau ritual, seperti patung kayu berpasangan (maskulin dan feminin) dalam pemujaan Debata Idup. Ini menunjukkan bahwa spiritualitas Batak bersifat simbolik dan mendalam.
Doa dan Kesatuan Ketuhanan
Dalam praktik doa dan upacara persembahan, masyarakat Batak tetap mengakui kesatuan tiga Debata dalam satu sosok tertinggi, yaitu Debata Mulajadi Na Bolon. Salah satu doa klasik (tonggotonggo) menyebut ketiga dewa utama dalam satu penggalan permohonan kepada Debata Mulajadi, sekaligus menyapa Boraspati ni Tano dan dewi air Saniang Naga. Doa-doa ini ditujukan untuk kesuburan tanah, kesehatan, keturunan, dan kesejahteraan.
Kritik Terhadap Narasi Kolonial
Sebagian penulis kolonial, seperti Renes-Boldingh, pernah menyatakan bahwa dewa-dewa Batak tidak mewakili nilai moral dan bahwa masyarakat Batak lebih memuja roh-roh leluhur (begu) yang dianggap membawa kebencian. Pandangan ini dikritik karena bertentangan dengan nilai-nilai moral luhur dalam ajaran Batak, yang menempatkan keharmonisan, keadilan, dan kasih sebagai inti ajaran teologi mereka.
Kepercayaan Batak terhadap Debata Mulajadi Na Bolon bukanlah bentuk politeisme yang dangkal. Sebaliknya, ini adalah sistem teologi kompleks yang menyatukan aspek penciptaan, kehidupan, dan keadilan dalam konsep tritunggal. Meskipun ditransmisikan secara lisan, ajaran ini tetap hidup dalam doa, mitos, dan nilai-nilai budaya masyarakat Batak hingga kini—menunjukkan bahwa spiritualitas lokal memiliki kedalaman dan kemurnian teologis yang layak dihargai dan dikaji lebih lanjut.