Horas!
Dongan BK, sapaan sehari-hari seperti lae, eda, ito, hingga apara sangat akrab terdengar di tengah masyarakat yang berasal dari Sumatera Utara. Ungkapan-ungkapan ini bukan sekadar panggilan biasa, melainkan bagian dari tradisi tutur yang lahir dari budaya Batak, terutama Toba dan Mandailing.
Lantas, apa arti dari sapaan lae dalam percakapan orang Batak?
Asal-usul Sapaan Lae
Kata lae digunakan oleh seorang laki-laki ketika menyapa laki-laki lainnya atau teman bukan satu marganya. Ini juga berlaku untuk panggilan dari saudara ipar dari pihak istri atau suami jika mempunyai saudara laki – laki.
Seiring waktu, muncul variasi seperti lek atau lay yang merupakan bentuk transformasi dari kata tersebut. Sementara itu, eda menjadi sapaan khas di antara perempuan untuk menyapa sesama perempuan.
Ada pula kata ito, yang biasanya dipakai antara laki-laki kepada perempuan atau sebaliknya, khususnya jika keduanya memiliki marga yang sama. Selain itu, apara atau ampara juga digunakan sebagai sapaan antar laki-laki.
Sapaan ini dapat berubah tergantung hubungan kekerabatan yang terjalin, baik karena kesamaan marga maupun perbedaan marga. Oleh karena itu, penggunaan kata panggilan dalam budaya Batak kerap mencerminkan struktur sosial dan ikatan kekeluargaan yang kuat.
Jadi Bagian Percakapan Sehari-hari
Kini, penggunaan sapaan seperti lae, eda, ito, hingga apara bukan hanya milik masyarakat Batak semata. Panggilan ini justru makin populer dipakai oleh warga lintas etnis di Sumatera Utara, bahkan di luar daerah. Tujuannya sederhana, yakni untuk menciptakan rasa akrab dalam percakapan sehari-hari.
Seiring migrasi masyarakat Toba dan Mandailing ke berbagai kota, sapaan-sapaan ini ikut dibawa dan dipraktikkan di lingkungan baru. Jumlah penutur yang terus bertambah membuat istilah tersebut akhirnya meluas dan dipakai masyarakat, bahkan hingga luar Sumatera Utara, seperti Jakarta dan sekitarnya.