Horas!
Dongan BK, di sebuah rumah kontrakan di Jalan Jati II, Medan Kota, berdiri sebuah ruang kecil yang penuh dengan buku, Literacy Coffee. Tempat ini bukan sekadar perpustakaan, melainkan wujud mimpi Jhon Fower Siahaan, lulusan Ilmu Sejarah Universitas Negeri Medan, yang sejak 2017 berjuang menghadirkan literasi untuk masyarakat.
Sore itu, Jhon tampak sibuk memperbaiki kursi di perpustakaannya. Ia mengingat kembali masa kecilnya di Sipahutar, Tapanuli Utara, di mana akses buku sangat terbatas.
“Di kampung hampir tak ada toko buku. Kalaupun ada, hanya alat tulis. Baru di kota besar orang bisa menemukan bacaan,” kenangnya.
Dari Skripsi hingga Perpustakaan
Keinginan membangun perpustakaan tumbuh sejak masa kuliah. Kala itu, ia tengah menulis skripsi tentang sejarah opera Batak dan mendapati betapa sedikitnya literatur lokal yang tersedia di kampus. Kekhawatiran akan hilangnya arsip sejarah dan budaya Batak membuatnya semakin yakin untuk mendirikan ruang baca.
Dorongan juga datang dari dosennya yang menyarankan setiap mahasiswa memiliki setidaknya 150 buku pribadi. Sejak itu, Jhon mulai membeli dan mengumpulkan buku—hingga kini jumlah koleksinya mencapai puluhan ribu eksemplar.
Akses Buku Langka dengan Harga Terjangkau
Literacy Coffee berbeda dari perpustakaan konvensional. Di sini, pengunjung bisa meminjam buku dengan biaya yang sangat murah, termasuk buku langka.
Jhon mencontohkan karya Batara Sangti Simanjuntak, Sejarah Batak, yang di pasaran bisa mencapai Rp1 juta, namun di Literacy Coffee bisa disewa hanya dengan Rp1.000 per hari.
“Tujuannya supaya siapa pun bisa mengakses pengetahuan, tanpa terkendala biaya,” jelas Jhon.
Meski begitu, ia menyayangkan minimnya buku tentang Batak yang ditulis oleh penulis Batak sendiri. Buku-buku dari era 1980-an, menurutnya, banyak yang sudah tak lagi dicetak.
Tantangan dan Perjuangan
Selain keterbatasan literatur, Jhon menyoroti masalah kesejahteraan pustakawan. Menurutnya, selama pajak buku tinggi dan penghargaan terhadap karya tulis rendah, profesi pustakawan akan sulit berkembang.
“Kalau pikiran dalam bentuk buku saja tak dihargai, bagaimana mungkin pustakawan bisa sejahtera?” katanya tegas.
Pandemi Covid-19 sempat membuat jumlah pengunjung menurun, namun Jhon tetap bertahan. Ia bangga karena usahanya banyak diliput media, dan kini ia merancang sistem perpustakaan terkoneksi agar pencari buku lebih mudah menemukan koleksi, terutama literatur Batak yang langka.
Harapan untuk Dunia Pendidikan
Jhon menilai dunia pendidikan memiliki peran penting dalam mendorong budaya baca, terutama untuk memperkuat pemahaman sejarah lokal. Ia berharap kampus lebih banyak memberi ruang bagi riset tentang Batak dan tokoh-tokoh daerah.
Mendirikan perpustakaan independen seperti Literacy Coffee bukan hal mudah, apalagi di Medan. Namun, Jhon percaya langkah kecil ini dapat berkontribusi menjaga warisan pengetahuan.
“Semua ini karena kecintaan pada buku dan ilmu,” tuturnya sambil memperlihatkan piagam penghargaan yang terpajang di ruang perpustakaannya.