Horas!
Dongan BK, Presiden Prabowo Subianto secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh bangsa dalam upacara di Istana Negara, Jakarta. Para penerima gelar tersebut terdiri dari berbagai latar belakang, mulai dari mantan presiden, tokoh buruh, hingga ulama.
Di antara nama-nama tersebut, terdapat satu tokoh asal Sumatera Utara, yaitu Tuan Rondahaim Saragih, sosok raja yang dikenal karena keberaniannya menentang kekuasaan kolonial Belanda. Kisah perjuangannya juga terekam dalam karya ilmiah berjudul “Biografi Raja Rondahaim Saragih Sebagai Tokoh Penentang Pemerintah Kolonial Belanda di Kerajaan Raya (1828–1891)” oleh Edo Bastian.
Jejak Kepemimpinan Tuan Rondahaim Saragih
Simalungun, salah satu daerah di Sumatera Utara, dikenal memiliki sistem pemerintahan tradisional yang dipimpin oleh para raja dengan empat marga utama: Saragih, Purba, Damanik, dan Sinaga.
Kedatangan bangsa Eropa ke wilayah ini dimulai pada tahun 1865 melalui seorang pejabat Belanda bernama Van den Bor yang menjelajahi Tanah Jawa (Simalungun). Setahun kemudian, ekspedisi Belanda berlanjut ke daerah Silimakuta dan Purba.
Awalnya Belanda tidak berniat memperluas kekuasaannya ke Simalungun. Namun setelah mengetahui bahwa kondisi politik antar kerajaan di wilayah tersebut tengah bergejolak, mereka memanfaatkan situasi itu untuk melancarkan ekspansi dan menguasai daerah tersebut.
Hanya segelintir raja yang berani menentang upaya penjajahan itu, salah satunya Raja Rondahaim Saragih dari Kerajaan Raya, yang dikenal tangguh dan berwibawa di antara para penguasa lokal.
Awal Kehidupan dan Pendidikan
Raja Rondahaim Saragih lahir pada tahun 1828 di Huta Sinondang, kawasan yang kini termasuk wilayah Pematang Raya, ibu kota Kabupaten Simalungun.
Masa kecilnya diwarnai oleh keterbatasan ekonomi, namun justru dari sanalah tumbuh semangat juang, kerja keras, dan sikap pantang menyerah yang kemudian membentuknya menjadi pemimpin yang disegani.
Sejak muda, Rondahaim menunjukkan ketertarikan besar terhadap ilmu pemerintahan dan strategi perang. Ia sempat berguru kepada Tengku Muda (Muhammad Nurdin), Raja Padang keturunan Saragih Garingging, untuk memperdalam ilmu kepemimpinan dan ketentaraan.
Pada usia 17 tahun, ia mulai belajar mengelola pemerintahan, dan pada usia 20 tahun — tepatnya tahun 1848 — ia diangkat sebagai Raja ke-14 Kerajaan Raya.
Perlawanan terhadap Belanda
Sebagai pemimpin, Raja Rondahaim Saragih dikenal berjiwa patriotik dan tegas. Ia tidak hanya melindungi wilayah kekuasaannya, tetapi juga membantu kerajaan tetangga. Salah satu buktinya adalah ketika Kerajaan Padang menghadapi ancaman dari Kesultanan Deli, Rondahaim segera mengerahkan pasukannya untuk membantu.
Semangat juangnya makin terlihat ketika Belanda berusaha menaklukkan Simalungun. Rondahaim mempersatukan berbagai kerajaan lokal untuk melawan kolonialisme. Pada tahun 1882, ia menjalin pertemuan bersejarah di Dalig Raya bersama tokoh besar lainnya, Sisingamangaraja XII dari Tapanuli, guna membentuk aliansi perlawanan terhadap Belanda.
Dua tahun kemudian, kolaborasi tersebut berlanjut ketika Sisingamangaraja XII mulai melancarkan serangan terhadap Belanda di sekitar Danau Toba, didukung oleh kekuatan dari pasukan Rondahaim.
Selain membangun koalisi, Raja Rondahaim juga memperkuat pertahanan Kerajaan Raya. Ia memerintahkan pandai besi untuk memproduksi senjata, melatih pasukan, serta mendatangkan kuda perang guna memperkuat armada kerajaan.
Warisan Perjuangan Tuan Rondahaim Saragih
Keberanian dan strategi kepemimpinan Tuan Rondahaim Saragih menjadikannya salah satu tokoh penting dalam sejarah perlawanan rakyat Simalungun terhadap kolonialisme.
Kini, setelah lebih dari satu abad perjuangannya berlalu, negara akhirnya mengakui jasa-jasanya melalui penganugerahan gelar Pahlawan Nasional, menjadikannya simbol kebanggaan bagi masyarakat Sumatera Utara dan seluruh bangsa Indonesia.


