Horas!
Dongan BK, istilah “Harajaon” berasal dari kata “marhara-raja-on” yang berarti menggerakkan para raja untuk berkumpul dan membentuk satu kesatuan organisasi sosial yang lebih besar. Harajaon bukan sekadar kerajaan absolut, melainkan bentuk pemerintahan kolektif berdasarkan musyawarah para raja (dalam konteks Batak) untuk melindungi hukum dan nilai-nilai budaya bersama.
Asal-usul Harajaon Batak
Catatan awal tentang kerajaan Batak tercatat dalam dokumen Tiongkok Dinasti Tang (685–696), ketika seorang pendeta Buddha, T. Tshing, menyebutkan adanya kerajaan “Pat-ta”, yang diyakini sebagai bentuk awal dari Harajaon Batak. Hal ini dikuatkan oleh sejarawan Prof. M. Yamin. Sayangnya, kerajaan tersebut akhirnya diserbu oleh pasukan Kerajaan Sibaso Paet di bawah pimpinan Panglima Gaja Bada, menyebabkan kehancuran besar dan nyaris punahnya kerajaan Bataha.
Dalam kekacauan itu, dua tokoh penting — Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon — berhasil menyelamatkan diri bersama keluarganya dan menetap di Pusuk Buhit. Di sana, mereka membangun komunitas Sianjur Mula-mula sebagai bentuk kebangkitan dan pelestarian nilai-nilai leluhur (ugari).
Kebangkitan Kembali dan Lahirnya Si Raja Batak
Selama dua abad, keturunan mereka tumbuh dan membentuk struktur sosial baru yang dipimpin oleh Dewan Raja-Raja Batak. Mereka hidup sederhana namun religius, menjunjung tinggi nilai spiritual dengan berdoa kepada Tuhan Mulajadi Na Bolon. Segala bentuk persembahan seperti hasil bumi, ternak, tortor, dan gondang menjadi bagian dari ekspresi iman mereka.
Kelahiran Singamangaraja dan Kebangkitan Harajaon
Setelah dua abad, lahirlah pemimpin karismatik yang dikenal sebagai Singamangaraja — bukan raja biasa, tetapi tokoh yang diyakini mendapat karunia dari Tuhan. Ia hadir sebagai simbol moral, pemimpin spiritual, dan pelindung budaya. Mulai abad ke-15, Harajaon Batak berdiri lebih kokoh di sekitar Danau Toba, berhadapan langsung dengan pengaruh dari Kesultanan Aceh dan wilayah lain. Dalam masa kepemimpinannya, ajaran luhur dan sistem hukum ditegakkan, memperkuat jati diri bangsa Batak.
Nilai Demokratis dan Spiritualitas Harajaon
Berbeda dengan kerajaan feodal, Harajaon tidak bersifat teokratis mutlak. Singamangaraja sebagai pemimpin bukanlah titisan dewa, tetapi pilihan hati rakyat yang diangkat berdasarkan kepercayaan dan kemampuan moral. Harajaon mengajarkan bahwa kepemimpinan lahir dari keutamaan, bukan warisan atau kekuasaan absolut.
Refleksi untuk Masa Kini
Setelah Singamangaraja XII gugur pada 1907, tanah Batak mengalami masa penjajahan dan transformasi politik hingga kemerdekaan Indonesia. Namun, semangat Harajaon tetap relevan sebagai bagian dari mata rantai sejarah panjang Bangsa Batak. Sayangnya, banyak masyarakat Batak hari ini yang lupa akan akar budayanya, menjauh dari nilai “ugari” dan spiritualitas leluhur.
Menjelang pemilu atau penentuan pemimpin, penting untuk merefleksikan kembali kriteria pemimpin sejati seperti Si Singamangaraja — pemimpin yang mewakili kebenaran, kesucian, dan kekuatan moral. Harajaon tidak sekadar masa lalu, tetapi warisan yang menuntun masa depan.