Horas!
Dongan BK, Duta Besar adalah perwakilan resmi negara yang ditunjuk langsung Presiden untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Mereka bukan hanya wajah Indonesia di dunia internasional, tapi juga penggerak kerja sama antarnegara.
Dari sekian banyak nama diplomat Indonesia, ada beberapa yang berasal dari tanah Batak. Latar belakang mereka pun beragam—aktivis, akademisi, jurnalis, hingga politisi—namun sama-sama membuktikan kemampuan membawa nama Indonesia ke kancah global. Berikut empat sosok Duta Besar berdarah Batak yang menorehkan kiprah gemilang:
1. Nazaruddin Nasution
Lahir di Medan, 22 Desember 1941, Nazaruddin Nasution meniti karier panjang di Kementerian Luar Negeri sejak 1973. Ia pernah bertugas di KBRI Bangkok, PTRI New York, KBRI Ottawa, hingga KBRI Washington DC, sebelum akhirnya dipercaya menjadi Duta Besar Indonesia untuk Kamboja (2000–2003).
Sebelum berkarier sebagai diplomat, Nazaruddin dikenal sebagai aktivis dan pengacara di LBH. Latar belakang itu membentuk karakter kritis dan kepeduliannya pada isu sosial. Ia juga penulis produktif, dengan buku Indonesia-Cambodia: Forging Ties Through Thick and Thin (2002) serta otobiografi Dari Aktivis Menjadi Diplomat (2012).
Di usia 70-an, semangat belajarnya tak padam—ia berhasil meraih gelar doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selepas pensiun, Nazaruddin mengabdi sebagai akademisi di berbagai perguruan tinggi, menjadikannya contoh nyata sosok yang konsisten berjuang lewat ilmu, diplomasi, dan tulisan.
2. Ratlan Pardede
Prof. Dr. Ratlan Pardede lahir di Balige, 4 Juli 1962, dan dikenal sebagai ekonom sekaligus akademisi. Ia pernah menjadi Rektor Universitas Mpu Tantular (2011–2015) serta guru besar bidang Ilmu Ekonomi dan Manajemen. Pendidikan tingginya ditempuh hingga meraih gelar doktor di Institut Pertanian Bogor (2005).
Pada 2017, Presiden Joko Widodo menunjuknya menjadi Duta Besar RI untuk Tanzania, merangkap Rwanda, Persatuan Komoro, dan Burundi. Dari ruang kuliah, Ratlan melangkah ke panggung diplomasi, membawa keahlian ekonomi dan pendidikan sebagai bekal utama.
Dalam masa tugasnya, ia berperan aktif memperkuat kerja sama bilateral Indonesia di Afrika, mulai dari sektor ekonomi, pendidikan, hingga sosial-budaya. Sosoknya menunjukkan bahwa diplomat tak selalu lahir dari karier panjang di Kemenlu, tapi juga bisa dari akademisi yang berintegritas dan berwawasan luas.
3. Sabam Pandapotan Siagian
Sabam Pandapotan Siagian (1932–2016) adalah nama besar di dunia jurnalisme Indonesia. Ia tercatat sebagai Pemimpin Redaksi pertama The Jakarta Post, koran berbahasa Inggris yang menjadi wajah Indonesia di mata dunia.
Pengalaman panjangnya di media, termasuk sebagai Nieman Fellow di Harvard University, menjadikannya figur komunikatif dan kritis. Pada 1991, Sabam dipercaya sebagai Duta Besar RI untuk Australia (1991–1995).
Dalam masa tugasnya, ia memperkuat hubungan Indonesia–Australia di tengah isu-isu sensitif seperti Timor Timur. Gaya komunikasinya lugas, bahkan berani mengkritik media Australia yang dinilainya kurang memahami situasi Indonesia.
Usai bertugas, Sabam kembali ke dunia pers sebagai Presiden Komisaris Suara Pembaruan dan The Jakarta Post. Ia dianugerahi Bintang Jasa Utama (1995) atas kontribusinya di bidang pers dan diplomasi.
4. Nurmala Kartini Sjahrir
Nurmala Kartini Sjahrir (1950–2021) adalah antropolog, akademisi, sekaligus politisi perempuan berdarah Batak. Ia merupakan adik Luhut Binsar Pandjaitan dan istri ekonom Dr. Sjahrir.
Sebelum menjadi diplomat, Kartini aktif mengajar antropologi di Universitas Indonesia dan memperjuangkan isu kesetaraan gender. Ia juga pernah memimpin Partai Perjuangan Indonesia Baru (2007–2011).
Pada 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuknya sebagai Duta Besar RI untuk Argentina, merangkap Uruguay dan Paraguay (2010–2014). Masa tugasnya mencatat berbagai capaian, termasuk peningkatan kerja sama perdagangan dan pendidikan. Atas jasanya, Kartini menerima penghargaan tinggi dari pemerintah Argentina, Orden de Mayo al Mérito en el Grado Gran Cruz (2014).