Horas!
Dongan BK, Sejak dahulu, harimau memiliki kedudukan khusus dalam kehidupan masyarakat Batak. Binatang buas ini tidak hanya ditakuti, tetapi juga dihormati. Bahkan, menyebut kata harimau secara langsung dianggap tabu, terutama di desa-desa dekat hutan. Orang lebih sering memanggilnya dengan sebutan “Ompung”, yang berarti kakek atau leluhur.
Di Mandailing, keyakinan ini sangat kuat. Konon, menyebut kata harimau sembarangan dipercaya bisa mengundang sang “ompung” datang ke kampung.
Legenda Harimau dalam Mitos Batak
Ada berbagai versi legenda yang menjelaskan mengapa harimau dihormati orang Batak.
1. Kisah Si Boru Pareme dan Raja Uti
Salah satu versi menceritakan tentang keturunan Raja Batak, yaitu Si Boru Pareme dan Saribu Raja, pasangan kembar yang terjerumus dalam hubungan terlarang. Karena perbuatannya, keduanya diusir. Saribu Raja diasingkan, sementara Si Boru Pareme dibuang ke hutan.
Hidup sebatang kara, Si Boru Pareme jatuh sakit dan meratapi nasibnya. Raja Uti, kakak tertua yang juga pernah diasingkan, merasa iba. Dengan kesaktiannya, Raja Uti menjelma menjadi seekor harimau untuk melindungi dan memberi makan adiknya. Namun karena kondisi fisiknya cacat sejak lahir, wujud harimau itu pun pincang. Dari sinilah muncul sebutan Babiat Sitelpang—harimau pincang—yang hingga kini melegenda di tanah Batak.
2. Harimau Penolong Si Boru Pareme
Versi lain menyebutkan bahwa saat di hutan, Si Boru Pareme bertemu seekor harimau yang kesakitan karena tulang menancap di kerongkongannya. Dengan iba, ia menolong sang harimau. Sebagai balas budi, harimau itu kemudian setia mengantarkan hasil buruan untuk Si Boru Pareme, bahkan menemaninya saat melahirkan seorang anak bernama Raja Lontung.
Dari keturunan Raja Lontung inilah lahir sembilan marga besar Batak. Sejak itu pula dipercaya ada “perjanjian” bahwa harimau tidak akan mengganggu keturunan Si Boru Pareme. Maka, orang Batak dulu diajarkan untuk tidak takut saat berpapasan dengan harimau. Cukup berkata, “Lontung do au, Ompung!” (Aku ini cucumu, Ompung), maka harimau tidak akan menyerang.
Harimau dalam Adat dan Kehidupan Batak
Bagi leluhur Batak, harimau bukan sekadar binatang buas, melainkan penjaga hutan dan simbol kekuatan. Sebelum membuka ladang atau memasuki rimba, orang Batak biasanya memohon izin: “Sattabi Ompung, lao mamolus hami di ingananmon” (permisi Ompung, kami lewat di wilayahmu).
Ciri-ciri harimau—kuat, pemberani, pelindung, dan setia kawan—kemudian menjadi identitas karakter orang Batak. Bahkan seni bela diri tradisional Mossak banyak meniru gerakan bertarung harimau.
Harimau yang Beradat
Nenek moyang Batak Mandailing percaya bahwa harimau memiliki adat tersendiri. Ia tidak akan mengganggu manusia tanpa sebab. Jika bertemu harimau, orang dianjurkan diam saja, bukan lari, karena berlari dianggap tanda bersalah.
Dalam tradisi Mandailing, saat musim durian, manusia dan harimau bahkan berbagi hasil. Penjaga kebun durian meninggalkan sebagian buah untuk sang harimau, dan sebaliknya harimau pun tidak akan mengambil semuanya.
Ada pula keyakinan bahwa kehadiran harimau di kampung menandakan ada dosa besar di sana, misalnya perzinaan. Harimau akan berkeliaran di sekitar desa hingga seminggu lamanya sebagai bentuk teguran.
Hubungan Manusia dan Harimau di Masa Kini
Di beberapa wilayah, seperti Padang Lawas, Ulu Barumun, dan Sosopan, cerita tentang “Ompung” ini masih hidup. Warga setempat mengaku kerap berpapasan dengan harimau di hutan, namun hubungan mereka berjalan damai. Saat musim durian atau mencari ikan, harimau sering “meminta bagian,” dan masyarakat dengan sukarela memberikannya.
Kisah unik ini menggambarkan bagaimana orang Batak melihat harimau bukan sebagai musuh, melainkan sahabat sekaligus leluhur yang patut dihormati.
Sayangnya, di balik kisah penuh kearifan ini, Harimau Sumatera kini berada di ambang kepunahan. Populasinya terus menyusut akibat perburuan dan hilangnya hutan sebagai habitat alaminya.