Horas!
Dongan BK, gelombang banjir bandang dan tanah longsor yang melanda beberapa wilayah di Pulau Sumatera—yakni Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara—menjelang akhir November 2025 menimbulkan dampak yang sangat besar. Ratusan korban jiwa, kerusakan sarana publik, gangguan ekonomi hingga terhentinya aktivitas masyarakat memperkuat dorongan agar pemerintah pusat menetapkan status bencana nasional. Namun hingga kini, keputusan tersebut belum diambil.
Desakan dari Koalisi Masyarakat Sipil
Sejumlah organisasi sipil di Aceh menilai pemerintah daerah sudah kewalahan menghadapi bencana berskala besar ini. Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, menyebut ribuan warga masih terisolasi, puluhan ribu rumah terendam, serta infrastruktur vital seperti sekolah, jembatan, dan jalan penghubung antarwilayah mengalami kerusakan parah.
Koalisi yang terdiri dari LBH Banda Aceh, AJI Banda Aceh, Yayasan Keadilan dan Perdamaian Indonesia, serta ICAIOS itu mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan status darurat bencana nasional. Selain akses darat yang terputus total, mereka menyebut pasokan makanan menipis, listrik padam, dan jaringan komunikasi lumpuh sehingga menyulitkan penanganan darurat.
DPD: Unsur Bencana Nasional Sudah Terpenuhi
Ketua DPD RI, Sultan Baktiar Najamudin, mengaku telah menerima aspirasi dari pemerintah daerah dan para senator di tiga provinsi terdampak. Ia menilai bencana Sumatera sudah memenuhi indikator bencana nasional berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2007.
Menurut Sultan, kerugian yang meluas, jumlah korban yang tinggi, akses logistik yang terputus, hingga dampak ekonomi yang signifikan memperlihatkan perlunya keterlibatan penuh pemerintah pusat. Ia juga menyinggung bahwa keterbatasan anggaran pemerintah daerah membuat penanganan tidak bisa dilakukan secara optimal.
Legislator: Pemerintah Perlu Bertindak Lebih Jauh
Anggota DPR dari Fraksi NasDem, Dini Rahmania, menilai empati tidak cukup untuk menghadapi situasi ini. Ia menekankan perlunya status bencana nasional agar pemerintah pusat dapat bertindak dengan kewenangan penuh, termasuk melakukan audit lingkungan, moratorium izin eksploitasi, hingga penegakan hukum terhadap pihak yang dinilai merusak kawasan dan memicu bencana hidrometeorologi.
Menurut Dini, karakter bencana yang dipicu Siklon Tropis Senyar bersifat lintas wilayah sehingga membutuhkan komando tunggal dari pusat. Ia juga menyoroti dampak kerusakan jalur lintas Sumatera terhadap distribusi logistik nasional—sesuatu yang hanya bisa dipulihkan melalui intervensi APBN.
PKS: Keselamatan Publik Harus Diutamakan
Politikus PKS, Muhammad Nasir Djamil, mengatakan masyarakat menantikan status bencana nasional sebagai langkah percepatan bantuan. Ia menilai banjir dan longsor telah menyebabkan banyak warga terjebak, akses darat putus, serta munculnya kelangkaan kebutuhan pokok.
Nasir menyebut bencana ini telah memenuhi indikator bencana nasional berdasarkan UU 24/2007, PP 21/2008, dan Perpres 17/2018. Dengan cakupan wilayah yang sangat luas serta dampak kerusakan yang berat, ia menegaskan pemerintah pusat perlu mengambil alih koordinasi agar evakuasi, logistik, dan pemulihan dapat berjalan lebih efektif.
Status Darurat Daerah Masih Cukup?
Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto menilai status darurat bencana di tingkat daerah masih memadai untuk menjawab situasi yang terjadi. Saat mengunjungi daerah terdampak di Tapanuli Tengah pada 1 Desember 2025, ia mengatakan seluruh instansi terkait seperti BNPB, Basarnas, TNI, dan Polri telah bergerak cepat dengan prosedur yang berlaku.
Prabowo menegaskan pemerintah mengerahkan seluruh sumber daya yang diperlukan, termasuk helikopter, pesawat Hercules, dan armada lain untuk mempercepat penanganan di lapangan. Menurutnya, koordinasi antarinstansi berjalan efektif sehingga belum perlu ada penetapan status bencana nasional.
Konklusi
Perdebatan mengenai perlu tidaknya menetapkan banjir Sumatera sebagai bencana nasional berpangkal pada perbedaan penilaian soal kapasitas penanganan di daerah. Sementara masyarakat sipil dan sejumlah legislator menilai skala bencana sudah melampaui kemampuan pemerintah daerah, pemerintah pusat meyakini status darurat daerah masih mampu mengakomodasi kebutuhan operasional di lapangan.


