Ratapan Seorang Ibu di Tengah Kobaran Perang.
Ratapan Seorang Ibu di Tengah Kobaran Perang.
Beranda Budaya Ratapan Seorang Ibu di Tengah Kobaran Perang
Budaya

Ratapan Seorang Ibu di Tengah Kobaran Perang

Bagikan

Horas!

Saat Belanda melancarkan Agresi Militer I pada Juli 1947 di Sumatera Utara, Mayor Maraden Panggabean menyaksikan langsung bagaimana rakyat mengungsi besar-besaran menuju pedalaman Tapanuli. Daerah strategis seperti Tanah Karo, Deli Serdang, Simalungun, dan Asahan jatuh ke tangan Belanda, mendorong sekitar sejuta orang melarikan diri ke selatan. Perjalanan mereka sangat berat—melintasi perkebunan, jalan kecil, hutan, rawa, bahkan pegunungan. Dalam kondisi yang serba terbatas, tua dan muda, laki-laki dan perempuan, terus berjalan mengikuti pasukan Republik yang mundur.

Dalam bukunya Berjuang dan Mengabdi, Maraden mengenang penderitaan para pengungsi yang mengilhami lahirnya lagu “Butet.” Lagu itu menurutnya adalah ungkapan semangat dan penderitaan seorang ibu yang ditinggalkan suaminya untuk ikut berperang secara gerilya.

Lagu Tanpa Nama di Tengah Perang

“Butet” menjadi sangat populer, namun asal-usulnya masih menjadi misteri. Tidak diketahui siapa penciptanya. Lagu ini tersebar luas dari mulut ke mulut di kalangan rakyat yang tengah dirundung perang.

Dalam bahasa Batak, Butet adalah panggilan sayang kepada anak perempuan, serupa dengan sebutan nduk dalam budaya Jawa atau neng dalam bahasa Sunda. Lagu ini dinyanyikan dengan nuansa mendayu, mencerminkan kesedihan dan kerinduan seorang ibu kepada putrinya yang ditinggal ayahnya berjuang.

Menurut etnomusikolog USU, Rizaldi Siagian, secara musikal “Butet” masuk dalam kategori nyanyian ratapan atau lamenta, dan dalam tradisi Batak disebut andung. Lagu ini diyakini populer pasca-kemerdekaan, namun sulit ditentukan siapa penciptanya. “Penciptanya tidak dikenal, no name,” kata Rizaldi kepada Historia.

Dari Medan Area hingga Lembah Tersembunyi

Beberapa tokoh mencatat serpihan kisah tentang lahirnya lagu ini. Amran Zamzami, veteran pertempuran Medan Area, meyakini lagu ini muncul sebagai bentuk penghormatan terhadap kegigihan rakyat Karo dalam menghadapi Belanda.

Edisaputra, jurnalis senior Medan, dalam bukunya menyebutkan bahwa pengungsian kala itu penuh penderitaan—banyak ibu melahirkan dalam kondisi darurat di hutan atau lembah. Banyak yang tidak selamat. Situasi inilah yang melahirkan lagu penuh emosi seperti “Butet”.

Lahir di Dalam Gua Sitahuis?

Jason Gultom, jurnalis dari Tapanuli, punya versi berbeda. Ia mengaitkan kelahiran lagu “Butet” dengan aktivitas pencetakan Oeang Republik Indonesia Tapanuli (ORITA) di Sitahuis. Menurut kisah warga lokal yang ia temui saat meliput di tahun 2008, lagu “Butet” pertama kali dinyanyikan oleh seorang ibu boru Lumban Tobing di dalam Gua Naga Timbul sebagai lagu nina bobo untuk anaknya. Lirik aslinya menyebutkan bahwa sang ayah sedang berada di Sitahuis mencetak uang ORITA, bukan bergerilya.

“Butet di Sitahuis do amangmu ale Butet // Da mancetak hepeng ORITA ale Butet”
(Butet, ayahmu di Sitahuis, mencetak uang ORITA, oh Butet)

Menurut Jason, saat itu masyarakat Sitahuis bersembunyi di gua karena Belanda tengah memburu mesin cetak uang ORITA yang digunakan sebagai alat tukar resmi di Tapanuli. Aktivitas pencetakan dimulai pada 15 Agustus 1947 di bawah pengawasan Residen Tapanuli, Ferdinand Lumban Tobing.

Dari Lagu Rakyat ke Skala Nasional

“Butet” menjadi terkenal secara nasional setelah dibawakan oleh penyanyi legendaris Emilia Contessa pada era 1970-an. Dari situ, lagu ini menjelma dari sekadar nyanyian rakyat menjadi bagian dari khazanah musik nasional. Hingga kini, lagu ini masih sering diputar—di rumah, di pesta, hingga di lapo tuak—selalu mengundang rasa haru dari siapa pun yang mendengarnya.

Bagikan
ads image
ads image
ads image
Artikel Terkait
Tradisi Mangaririt, Cara Orangtua Batak Menilai Calon Menantu Sebelum Pernikahan.
Budaya

Tradisi Mangaririt, Cara Orangtua Batak Menilai Calon Menantu Sebelum Pernikahan

Horas! Dongan BK, dalam budaya Batak, memilih calon menantu bukanlah perkara sepele....

Musik Arang-Arang Dairi, Gondang Penyambut Tamu dalam Adat Batak.
Budaya

Musik Arang-Arang Dairi, Gondang Penyambut Tamu dalam Adat Batak

Horas! Dongan BK, di antara berbagai jenis musik pengiring Tortor Batak, Gondang...

Mengenal Falsafah Batak, Guru di Nagogo do Adian.
Budaya

Mengenal Falsafah Batak, Guru di Nagogo do Adian

Horas! Dongan BK, bahasa adalah identitas utama sebuah suku atau bangsa. Dari...

Pergeseran Makna Sebutan "Batak Dalle", Ternyata Ini Faktanya!
Budaya

Pergeseran Makna Sebutan “Batak Dalle”, Ternyata Ini Faktanya!

Horas! Dongan BK, klean pernah dengar istilah “Batak Dalle”? Kalimat ini seringkali...