Horas!
Dongan BK, banyak orang memahami bahwa minuman beralkohol, dalam kadar tertentu, bisa menyebabkan mabuk, kehilangan kesadaran, bahkan membahayakan nyawa. Namun jika seseorang masih sengaja mabuk padahal sudah tahu risikonya, maka dalam logika Batak: itu disebut “lalaen”—bodoh yang disengaja.
Dalam masyarakat Batak, label lalaen bukan sekadar hinaan, tetapi pernyataan serius terhadap orang yang malas berpikir. Mereka yang lalaen dianggap tak bisa diubah, karena ajaran apa pun hanya akan masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.
Padahal, secara turun-temurun, orang Batak tidak pernah menganggap tuak sebagai sarana untuk mabuk-mabukan. Tuak nira sejatinya adalah bagian penting dari ritual adat, bukan semata-mata minuman penghibur. Ia adalah minuman adat, bukan minuman pesta pora.
Tuak: Minuman Alami yang Sarat Makna
Tuak asli berasal dari air nira yang disadap langsung dari mayang pohon aren, tanpa melalui proses industri. Proses penyadapannya pun sakral. Sang penyadap, atau paragat, harus menjalani ritual dan melafalkan syair-syair permohonan pada pohon nira, yang secara mitologis diyakini sebagai wujud dari Si Boru Sorbajati—putri kahyangan yang berubah menjadi pohon nira karena menolak dijodohkan dengan pria cacat.
Air nira, atau aek Sorbajati, dimaknai sebagai air susu perempuan, yang penuh kelembutan dan pemberian. Dalam bahasa Batak, nira disebut bagot—juga berarti payudara. Karena itu, pohon nira diperlakukan dengan kasih sayang, sebagaimana adat Batak mengajarkan elek marboru, mencintai anak perempuan.
Tuak dalam Upacara Adat dan Sosial
Tuak segar yang baru disadap dikenal sebagai tuak tangkasan atau tuak natonggi. Rasanya manis, kandungan gulanya tinggi, dan secara alami memberikan kehangatan, cocok untuk iklim dingin Tanah Batak. Dalam adat Batak Toba, tuak manis termasuk persembahan penting dalam berbagai upacara:
- Ritual kepada Debata Natolu (Tiga Dewata)
- Upacara pemberian makanan kepada orangtua yang sudah renta (manulangi)
- Prosesi menanam bakung di makam leluhur
- Simbol penghormatan dari boru kepada hula-hula
Bahkan, ibu yang baru melahirkan dianjurkan meminum tuak manis untuk memulihkan tenaga dan meningkatkan produksi ASI. Tuak tidak hanya menyehatkan, tapi juga sarat filosofi.
Kemerosotan Makna Akibat Komersialisasi
Namun di era modern, nilai luhur tuak mulai luntur akibat komersialisasi. Proses fermentasi dengan kulit kayu raru meningkatkan kadar alkoholnya hingga di atas 5 persen. Tuak jenis ini tersebar luas di lapo-lapo, tak hanya di Tanah Batak tetapi hingga ke wilayah pesisir timur Sumatera.
Dengan kadar alkohol yang cukup tinggi, tiga gelas saja bisa membuat orang mabuk. Di sinilah tuak bergeser dari minuman adat menjadi sarana hiburan dan pelarian. Padahal, meminum tuak hingga mabuk justru mencederai adat Batak sendiri.
Etika Minum Tuak: Antara Adat dan Kesadaran
Tak semua orang Batak yang minum tuak di lapo kehilangan kendali. Banyak yang tahu batas, hanya meminumnya untuk menghangatkan tubuh setelah bekerja keras. Di antara mereka, berlaku kesepahaman: saling mengingatkan agar tidak mabuk, dan menyuruh pulang bila ada yang mulai teler.
Inilah yang disebut etika minum tuak—menghargai tuak sebagaimana tuak menghargai adat. Karena tuak bukan sekadar cairan hasil fermentasi; ia adalah simbol kasih, persembahan suci, dan bagian dari kehormatan leluhur.
Tuak Harus Ditempatkan di Tempat Terhormat
Jika pohon nira adalah jelmaan seorang dewi, dan tuak adalah simbol air susu ibu, maka meminum tuak dengan hormat juga menjadi bagian dari menjaga kehormatan adat Batak. Menjadikan tuak sebagai alat mabuk adalah bentuk penistaan terhadap warisan budaya sendiri.
Sudah saatnya kita mengangkat kembali makna tuak ke tempat yang layak: sebagai minuman adat untuk orang yang beradat dan beradab.