Catatan I Antoni Antra Pardosi
Kemampuan orang Batak di bidang seni tidak diragukan. Selain di dunia musik, seniman berdarah Batak ada juga di dunia film. Tidak banyak. Namun dari yang sedikit itu, bakat dan kemampuan mereka amat diperhitungkan. Sebagai sutradara maupun penulis skenario, di tangan merekalah sejumlah karya legendaris dilahirkan.
Mereka adalah seniman terpelajar dengan latar belakang seni peran di dunia drama dan teater. Bagi mereka film adalah wadah untuk berekspresi; menjadikan film bukan semata-mata tontonan tetapi lebih dari itu adalah tuntunan.
Siapa saja mereka? Di urutan pertama ada Bachtiar Siagian (1923 – 2002), selanjutnya Wahyu Sihombing (1932 – 1989), Eduard Pesta Sirait (1942 – 2019), kemudian Matnoor Tindaon (1937 —-).
Daftar Isi:
Bachtiar Siagian, Sineas Nasionalis yang Terlupakan
Bachtiar Siagian adalah sutradara dan penulis skenario berpengaruh pada periode 1950-an sampai dengan 1960-an. Sineas kelahiran Binjai, Sumut, 19 Februari 1923 ini seangkatan –bahkan kepeloporannya juga disandingkan– dengan Usmar Ismail yang dijuluki bapak film Indonesia. Sebagai sineas idealis, realitas sosial dan nilai-nilai semangat juang nasionalisme tampak menonjol dalam karya-karya mereka.
Latar belakang Bachtiar cukup menarik. Ia bukan sutradara dan penulis skenario sekolahan. Bahkan, hanya tamatan SD semata. Keluarganya memang miskin, hidup bersama kuli kontrak lainnya di perkebunan tembakau deli tempatnya lahir dan dibesarkan.
Ia seorang otodidak. Kemauan belajar, mengasah bakat dan kemampuan, itulah yang mentransformasi dirinya dari zero menjadi hero.
Bachtiar tadinya hanya pemain sandiwara dan orkes gambus keliling. Kecintaannya terhadap seni panggung semakin mengendap akibat dipengaruhi berbagai pementasan ketoprak dor, tonil, dan pementasan teater modern, yang kerap ia tonton.
Saat bergabung dengan teater profesional di Banda Aceh, keinginannya menjadi penulis naskah drama muncul setelah bertemu penulis naskah, Saleh Umar. Sejak itulah Bachtiar mulai aktif menulis naskah drama. (Salah satu karya Saleh Umar, yaitu Tjorak Dunia, kelak diadaptasi Bachtiar ke film layar lebar).
Ciri karya Bachtiar adalah realisme sosial dan nilai-nilai kebangsaan. Untuk itulah ia ditangkap dan ditahan Kempeitai Jepang karena dituduh memprogandakan Indonesia merdeka serta anti-Jepang. Selain itu, ketika perang revolusi, ia juga turut bergerilya melawan pemerintah Belanda.
Bachtiar pertama sekali kenal film adalah saat mendampingi seorang Jepang membuat film semidokumenter mengenai tonarigumi, pada tahun 1944. (Tonarigumi: struktur kemasyarakatan yang dibuat oleh tentara pendudukan Jepang selama Perang Dunia II di wilayah kekuasaannya, termasuk Indonesia). Dari merekalah Bachtiar mendapat pelajaran dasar pembuatan film.
Bachtiar kemudian memperkaya ilmu sinematogrinya dengan belajar menulis skenario melalui buku karya sutradara Rusia, Vsevolod Pudovkin, pada tahun 1948. Kala itu ia menjabat Sekretaris Persatuan Perjuangan Langkat, organisasi yang kemudian menghantarnya hijrah ke Jakarta, pada tahun 1954.
Di Jakarta ia berkenalan dengan Adam Malik, politisi Partai Murba dan pendiri Kantor Berita Antara yang kelak menjadi Wakil Presiden RI ketiga. Melalui Muara Film Coy, perusahaan milik Adam Malik, Bachtiar berhasil membuat film untuk pertama kalinya, berjudul Kabut Desember, pada tahun 1955.
Nama Bachtiar –yang tadinya dianggap remeh akibat miskin pengetahuan di bidang film–semakin diperhitungkan usai merilis Kabut Desember. Masih pada tahun yang sama, Studio Garuda Film mempercayakan Bachtiar membuat film berjudul Tjorak Dunia. Film tersebut diadaptasi Bachtiar ke layar lebar berdasarkan naskah drama Saleh Umar, sebagaimana telah disinggung di atas.
Film Tjorak Dunia yang dibintangi Soekarno M. Noor dan Mieke Wijaya ini lumayan sukses di pasar, bahkan sempat memasuki pasar China, Vietnam, dan Korea.
Sederet film karya Bachtiar kemudian dirilis, antara lain Daerah Hilang (1955), dan merangkap sebagai pemeran utama dalam film Melati Sendja (1956), Turang (1957), Sekedjap Mata (1959), Piso Surit (1960), Notaris Sulami (1960), Badja Membara (1961), Violetta (1962), dan Njanjian di Lereng Dieng (1964).
Film Turang yang mengambil setting perlawanan masyarakat Tanah Karo dalam revolusi perjuangan kemerdekaan terpilih sebagai film terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1960, sekaligus juga menyapu empat penghargaan lainnya yaitu sutradara terbaik, film drama terbaik, peran pembantu pria terbaik, dan dekor terbaik.
Selain itu Bachtiar juga membuat film dokumenter, menulis cerpen, di samping juga aktif menulis di media massa khususnya tentang dunia perfilman, seperti pelajaran sinematografi, kritik film, dan artikel teoritis lainnya. Ia juga menulis buku berjudul Ichtisar Sejarah Perfilman Indonesia, terbit tahun 1964.
Karier Bachtiar akhirnya terhenti setelah memasuki Orde Baru. Ia dicap komunis karena aktif di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang nota bene adalah organisasi mantelnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Untuk itu ia ditangkap lalu dipenjarakan di Salemba, dipindahkan ke Tangerang, kemudian ke Nusakambangan, hingga berakhir di Pulau Buru.
Tragisnya, kecuali Violetta, tentara telah memusnahkan seluruh karya Bachtiar, bersama film-film bikinan Lekra lainnya seperti Bachtiar Effendy dan Koto Sukardi. Padahal, seandainya bisa dibela, rata-rata film Bachtiar itu tidak ada bau “kiri” atau komunisnya.
Bachtiar dibebaskan pada Desember 1977 di usianya yang sudah menginjak 55 tahun. Setelah bebas itu Bachtiar masih tetap berupaya merintis lagi kariernya sebagai sineas. Sayang, pemerintah otoriter Orde Baru kala itu masih membatasi akses pekerjaan dan berkarya bagi “eks tapol”.
Karya Bachtiar hanya sanggup sebatas naskah film cerita, film dokumenter, dan radio itupun dengan anonim maupun nama samaran. Beberapa film yang dibuatkan Bachtiar naskahnya adalah Mendulang Cinta (1981), Membelah Kabut Tengger, dan Busana dalam Mimpi (1980).
Peta politik demokrasi dan arus politik di Indonesia berubah sejak 1998. Atas nama reformasi karya-karya seniman Lekra kembali boleh beredar seperti buku sastra karangan Pramoedya Ananta Toer. Tidak bagi karya Bachtiar karena telah dimusnahkan dalam peristiwa huru hara 1965.
Bachtiar meninggal pada 19 Maret 2002 dan dimakamkan di Kalimulya, Depok, Jawa Barat, meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak.
Sayang ia tidak pernah tahu bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo telah memberinya Anugerah Kebudayaan 2016 untuk kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Bachtiar dinilai sebagai salah seorang pembaharu dalam penyutradaraan dan penulisan skenario film yang berlandaskan realitas sosial sebagai kekuatan ekspresi.
Atas penghargaan itu, dengan sendirinya telah mencatatkan kembali nama Bachtiar dengan tinta emas dalam sejarah kesenian di Indonesia. Atau, setidaknya telah memulihkan nama Bachtiar sebagai sineas nasionalis, meski karya-karyanya telah lenyap di masa lalu.
Wahyu Sihombing, Sosok Penting dalam Film, Drama Televisi, dan Teater Indonesia
Wahyu Sihombing adalah sutradara kawakan yang menekuni film pada tahun 1970-an sampai dengan 1980-an. Sineas kelahiran Tapanuli Utara, 15 Agustus 1932 ini sebenarnya sudah merintis kariernya sejak tahun 1960-an saat memasuki dunia film sebagai asisten sutradara Usmar Ismail dalam pembuatan Tjita-tjita Ajah (1960).
Usmar Ismail tampaknya adalah guru dan motivator yang membukakannya jalan memasuki dunia film. Setelah empat kali menjadi asisten Usmar Ismail, pada tahun 1962 Wahyu mendirikan perusahaan film sendiri, yaitu Virgo Film, dan menyutradarai produksinya, Ballada Kota Besar dan Impian Bukit Harapan (1964). Film yang disebut terakhir tidak bisa beredar karena dilarang sensor film yang kala itu dikuasai oleh simpatisan PKI.
Setelah agak lama absen, Wahyu muncul kembali lewat film Matinya Seorang Bidadari (1971) yang skenarionya ditulisnya sendiri. Tetapi, untuk film-film berikutnya cerita dan skenarionya ditulis oleh isterinya, Tatiek W. Maliyati.
Beberapa film Wahyu adalah Cinta Abadi (1976), Gersang Tapi Damai (1977), Gara-Gara Istri Muda (1978), Gadis Hitam Putih (1985), Penginapan Bu Broto (1987), dan Istana Kecantikan (1988). Dalam film Bukan Sandiwara karya Sjumandjaja (1980), Wahyu bermain sebagai aktor pembantu. Selain itu, Wahyu sempat menggarap drama Menunggu Godot (En Attendant Godot atau Waiting Godot/1989), drama absurd karya dramawan dunia asal Irlandia, Samuel Beckett.
Wahyu bersama isterinya, Tatiek W. Maliyati amat dikenal lewat serial Losmen di TVRI (1986-1989), di mana mereka berdua adalah penulis skenario dan Wahyu sebagai sutradaranya. Pada tahun 1987 serial tersebut dijadikan film oleh Wahyu dan Tatiek dengan judul Penginapan Bu Broto; dihidupkan kembali lewat skenario Alim Sudio serta disutradarai Edie Cahyono dan Ifa Isfansyah pada tahun 2021, dengan judul yang sama. Sebelumnya, masih di TVRI, serial Losmen kemudian diadaptasi pada tahun 2020, disutradarai Andibachtiar Yusuf dengan judul, Guest House: Losmen Reborn.
Selain menekuni film dan drama televisi, Wahyu merupakan salah satu sosok penting yang sangat berjasa bagi persemaian teater di Jakarta, yang pengaruhnya kemudian meluas hingga ke berbagai daerah di Indonesia.
Kiprahnya yang paling menonjol dalam dunia teater adalah ketika ia menjadi Pelaksana Harian Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan anggota Komite Teater DKJ pada kurun 1970-an. Selain itu ia juga tercatat sebagai salah seorang pendiri sekaligus pengajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang kini dikenal sebagai Institut Kesenian Jakarta (IKJ), serta ikut mendirikan Yayasan Teater Nasional.
Salah satu program DKJ yang dibidani Wahyu adalah Festival Teater Remaja Jakarta yang kini berganti nama menjadi Festival Teater Jakarta. Dari festival ini bermunculanlah generasi baru pekerja teater Indonesia yang sebagian masih berkarya hingga sekarang dan melahirkan banyak pekerja teater baru.
Pada tahun 1988 Dewan Film Nasional meganugerahi Wahyu Hadiah Usmar Ismail karena dinilai berjasa dalam memajukan karya seni dan budaya di bidang perfilman nasional.
Wahyu meninggal pada tahun 1989 dalam usia 56 tahun. Sebagai wujud penghargaan atas seluruh peranan Wahyu di dunia teater, IKJ pernah menggelar Festival Teater Wahyu Sihombing pada tahun 2017.
Tatiek W. Maliyati, sang isteri dikenal sebagai penulis skenario terkenal di Indonesia dan menerima sejumlah penghargaan atas dedikasinya, antara lain sebagai Abdi Abadi Federasi Teater Indonesia 2017 dan Lifetime Achievement dari FFI 2020.
Jejak Wahyu – Tatiek sebagai sutradara diikuti oleh dua orang anak laki-lakinya, yakni Ronggur Sihombing dan Jonggi Sihombing. Kedua anak mereka lebih memfokuskan kiprahnya di film dokumenter, sinetron televisi, dan platform digital. (Ronggur meninggal dunia 21 Maret 2021).
Eduard Pesta Sirait, Menghindari Film Panas
Eduard Pesta Sirait lahir di Porsea, Toba, 7 Agustus 1942. Ia termasuk sineas yang menyutradarai banyak film selama kariernya. Genre filmnya beragam, kebanyakan drama percintaan, melibatkan aktor aktris terkenal, serta mengangkat banyak artisnya meraih nominasi di FFI (Salah satu adalah Ita Mustafa sebagai Pemeran Pendukung Wanita Terbaik dalam film Gadis Penakluk pada FFI 1981).
Ia sempat tiga kali masuk nominasi sutradara terbaik di FFI lewat Gadis Penakluk (1981, dibintangi Adi Kurdi dan Merlyna Husein), Bukan Istri Pilihan (1982, dibintangi Ita Mustafa dan Adi Kurdi) dan Bila Saatnya Tiba (1986, dibintangi Christine Hakim dan Deddy Mizwar).
Eduard sempat berkuliah di Program Ekstensi Fakultas Hukum UI namun tidak selesai. Obsesinya di seni peran tampaknya lebih menggebu sehingga memilih kuliah di Akademi Teater NasionaI Indonesia/ATNI (1964-1970), melanjut ke Akademi Seni Rupa Indonesia/ASRI (1970-1971).
Pendalaman ilmu sinematografi kemudian dilanjutkannya lewat Kino Workshop LPKJ (1973). Meski sudah menekuni pembuatan film, ia tetap mengikuti Diklat Penulisan Skenario (1985) dan kursus penyuntingan video di Yayasan Citra Jakarta (1988).
Sembari kuliah di ATNI, Eduard mulai terjun ke dunia film sebagai pembantu sutradara untuk flm-film dokumenter (1966), asisten sutradara film cerita (1971-1974), dan sutradara film iklan untuk Ariza Jaya Flm (1975).
Pada tahun 1976 Eduard memulai karirnya sebagai sutradara film lewat film berjudul Chicha. Film yang diperani Chicha Keswoyo (penyanyi cilik terkenal kala itu) dan Rae Sita terpilih sebagai film terbaik anak-anak di Kairo, Mesir.
Film yang disutradarai Eduard lainnya adalah Duo Kribo (1977), Buah Terlarang (1979), Ira Maya Si Anak Tiri (1979), Gadis Penakluk (1980), Manis-Manis Sombong (1980), Bukan Istri Pilihan (1981), Sang Guru (1981), Hidung Belang Kena Batunya (1982), Remaja Kedua (1984), Bila Saatnya Tiba (1985), Tinggal Sesaat Lagi (1986), 2 Dari 3 Laki – laki (1989), Blok M (1990), Pesta (1991), Joshua oh Joshua (2001), dan Anakluh (2011).
Selain nama artis yang sudah disebutkan di atas, artis terkenal lainnya yang masuk dalam deretan filmografi Eduard antara lain adalah Ira Maya Sopha, Rano Karno, Yessy Gusman, Lidya Kandow, S. Bagio, Lia Waroka, Roy Marten, Nurul Arifin, Ari Wibowo, Deasy Ratnasari, Paramitha Rusady, dan lain-lain.
Kiprah Eduard sebagai sutradara bertepatan dengan periode maraknya film panas (berbumbu seks), adegan kekerasan, serta gaya hidup hedon yang melanda perfilman Indonesia kala itu. Begitupun ia tidak mau tergiur pada bujuk rayu produser untuk membuat jenis film murahan seperti itu. Film bergenre drama romantisnya, sedapatnya dipatok memenuhi kriteria film bermutu yang masih taat nilai dan norma.
Tatkala perfilman Indonesia memasuki periode antiklimaks pada tahun 1990-an, Eduard memilih terjun ke sinetron televisi untuk mengisi periode sekarat itu. Sentuhan ilmu sinematografisnya selama di film membuat karya sinetronnya masuk kategori berbobot, antara lain Hujan Akhir Tahun (1984), Segenggam Kejujuran (1987), Keluarga Cemara (1996), Misteri Gunung Merapi (2006), dan Ramayana (2006). Secara total karya sinetron Eduard mencapai ratusan bahkan seribu episode lebih. Nama Eduard lama menghilang sebelum diketahui meninggal dunia pada tahun 2019 dalam usia 77 tahun. Kabarnya ia telah mederita diabetes tipe satu selama 40 tahun terakhir.
Matnoor Tindaon dan “The Big Five”
Matnoor Tindaon lahir 20 Agustus 1937 di Pematangsiantar. Ia termasuk sutradara yang produktif era 1970-an hingga 1980-an. Meski kurang diperhitungkan di ajang FFI, harus diakui bahwa beberapa film Matnoor pernah mencapai box office, salah satunya adalah Akibat Pergaulan Bebas (1977).
Akibat Pergaulan Bebas tercatat sebagai film paling laris sepanjang tahun 1977. Selain cerita yang kuat unsur dramatiknya, salah satu faktor kesuksesan film ini adalah kemampuan Matnoor mengolaborasi 5 pemain film termahal dan terlaris kala itu (periode 1977-1982), yang disebut The Big Five, terdiri dari Yati Octavia, Yenny Rachman, Doris Callebaute, Roy Marten, dan Robby Sugara. Sejak itulah nama Matnoor semakin diperhitungkan di kalangan sineas Indonesia.
Sederet pemain film tersohor lainnya yang tampil dalam film garapan Matnoor, di antaranya adalah Sophan Sophian, Widiawaty, Mieke Wijaya, Rano Karno, Anita Carolina Mohede, Lidya Kandow, Wieke Widowati, Parmitha Rusady, Pangky Suwito, dan Achmad Albar.
Latar belakang Matnoor adalah teater. Pada tahun 1960 ia kuliah di ATNI dan menamatkannya pada tahun 1962. Matnoor memasuki dunia film ketika baru kuliah di ATNI. Saat itu ia dipercaya menjadi pimpinan unit pada pembuatan film Bertamasja (1960), yang digarap Joko Lelono.
Usai itu ia memilih berkecimpung di TVRI dengan menyutradari beberapa drama, sebelum pada tahun 1966 dipercaya sutradara Misbach Yusa Biran sebagai asisten dalam film Menjusuri Djejak Berdarah.
Film pertama yang disutradarai sekaligus dituliskan sendiri skenarionya adalah Hostess Anita (1971). Film lainnya adalah Pencopet (1973), Demi Cinta (1974), Aladin (1975), Akibat Pergaulan Bebas (1977), Akibat Godaan (1978), Pelajaran Cinta (1979), Perjalanan Cinta (1980), Bunga Bunga SMA (1980), Ketika Cinta Harus Memilih (1981), Kelainan Cinta (1983), Gairah Pertama (1984), Kidung Cinta (1985), Aids Phobia (1986),dan Tidak ada Pilihan (1990).
Nama Matnoor sudah lama menghilang bahkan sulit diketahui keberadaannya sampai dengan sekarang.
Sineas Berdarah Batak Belum Ada Matinya
Syukur, belakangan telah bermunculan sineas generasi baru dengan gaya dan penguasaan teknik filmis yang baru pula, sesuai perkembangan zaman dengan segala perubahannya.
Yang lebih senior adalah Ody Chandra Harahap. Pria kelahiran Jakarta, 22 April 1972 ini dikenal sebagai sutradara dan penulis skenario yang aktif hingga sekarang. Ia menempuh pendidikannya di Institut Kesenian Jakarta, Fakultas Film dan Televisi, jurusan Penyutradaraan.
Ia memulai kariernya sebagai asisten sutradara lewat film Tusuk Jelangkung (2003), kemudian menjadi sutradara dengan film pertamanya, Bangsal 13 (2004). Setelah itu, ia menyutradarai film Alexandria (2005) dan berhasil membawa Julie Estelle ke jajaran aktris Indonesia.
Ody telah menyutradarai banyak film. Antara lain, film Kawin Kontrak (2008) dan Kawin Kotrak Lagi (2008) yang seketika menyuburkan tren genre komedi dalam perfilman Indonesia pada tahun tersebut. Terakhir, 2023, saat tulisan ini dibuat, film Ody berjudul Virgo and The Sparklings telah tayang di bioskop sejak awal Maret.
Karya-karya Ody cukup diperhitungkan dalam ajang festival film seperti FFI, Festival Film Bandung (FFB), Piala Maya, dan SCTV Awards. Dari sejumlah nominasi, Ody meraih penghargaan tertinggi sebagai sutradara terpuji untuk film Hit & Run pada FFB 2019, sedangkan filmnya, Orang Kaya Baru terpilih sebagai Film Layar Lebar Paling Ngetop dari SCTV Awarda 2021.
Sineas berikutnya adalah Sammaria Simanjuntak. Wanita kelahiran Bandung, 4 Mei 1983 ini memulai debutnya sebagai sutradara, penulis skenario dan juga merangkap produser pada tahun 2009 lewat film Cin(T)a. Antara lain film yang dibuat Sarjana Teknik Bidang Arsitektur dari ITB ini adalah Demi Ucok (2012).
Film Demi Ucok sukses memperoleh 8 nominasi, termasuk film terbaik, sutradara terbaik, dan skenario terbaik atas nama Sammaria Simanjuntak di FFI 2012. Satu-satunya kategori yang menang dalam ajang ini adalah Pemeran Pendukung Wanita Terbaik untuk Lina Marpaung. Namun, oleh Majalah Tempo, film bernuansa budaya Batak urban ini dinobatan sebagai Film Indonesia Terbaik, pada tahun yang sama.
Sineas muda Bene Dion Rajagukguk juga hadir dengan warnanya yang khas. Pelawak tunggal (stand up comedian) kelahiran Dolokmasihul, Serdang Bedagai, tahun 1990 ini dikategorikan sebagai sineas muda kreatif dengan mengaktualisasi dirinya sebagai sutradara dan penulis skenario.
Bene Dion memulai debutnya sebagai salah satu penulis skenario lewat film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Bos! Part 1 (2017), Stip & Pensil (2017), Warkop DKI Reborn: Jangkrik Bos! Part 2 (2018), dan menyutradarai Ghost Writer (2019). Film karya Bene Dion yang sangat menyita perhatian adalah Ngeri-Ngeri Sedap (2022), di mana ia tampil sebagai sutradara, penulis cerita, dan penulis skenario.
Meski nihil dari Festival Film Indonesia (FFI) 2022, namun dari Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) 2022, film Ngeri-Ngeri Sedap sukses meraih 7 penghargaan untuk genre komedi sebagai film terbaik, sutradara terbaik, penulis skenario terbaik, dan unsur sinematik lainnya (terbanyak di antara nominator lainnya).
Pada Piala Maya 2023, film Ngeri-Ngeri Sedap kemudian berhasil menjadi yang terbaik dengan 5 piala, masing-masing yaitu Film Cerita Panjang Terpilih, Penyutradaraan Terpilih, Penulisan Skenario Asli Terpilih, Penyuntingan Gambar Terpilih, dan Lagu Tema Terpilih.
Trending di lini masa dan riuh dibicarakan netizen, box office di bioskop, serta mencapai puncak di Top Ten platform digital Netflix Indonesia, Ngeri-Ngeri Sedap juga diutus mewakili Indonesia ke Academy Awards ke-95 atau Piala Oscar 2023.
Sineas muda lainnya adalah Edo WF Sitanggang. Namanya mulai dikenal usai memproduseri film Toilet Blues (2014) berdasarkan skenario yang ditulis Dirmawan Hatta. Masih bekerjasama dengan Dirmawan Hatta sebagai penulis skenario, Edo kemudian menyutradarai film Bulan di Atas Kuburan yang rilis pada tahun 2015.
Sejatinya, selain tiga nama yang disebutkan barusan masih besar peluangnya bermunculan sineas berdarah Batak yang bakal meramaikan perfilman Indonesia ke depan. Seberkas cahaya itu muncul dari aktivitas sineas-sineas muda dalam komunitas film independen, ada yang menggarap film pendek dan dokumenter sebagaimana diwakili Andi Parulian Hutagalung.
Peluang terbuka lebar seiring berkembangnya zaman melalui industri audio visual, kamera digital, dan platform digital. Kita tunggu!
(Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber).