Home » Film » Film Bernuansa Batak, Doeloe dan Sekarang, dari Turang ke Ngeri Ngeri Sedap

Film Bernuansa Batak, Doeloe dan Sekarang, dari Turang ke Ngeri Ngeri Sedap

Catatan I Antoni Antra Pardosi

Nuansa Batak dalam perfilman Indonesia bukanlah hal baru. Fenomena ini sudah ada sejak periode awal kemerdekaan, demikian seterusnya pada  periode berikutnya, lalu menemukan puncaknya dalam belasan tahun terakhir.

Periode 2010 sampai dengan sekarang mencatatkan jumlah produksi terbanyak. Dari  belasan judul film yang diproduksi pada kurun ini, film tersebut pada umumnya mendapat respon positif dari publik. Beberapa di antaranya berhasil pula meraih penghargaan dari ajang festival film nasional, seperti Demi Ucok (2012), Bulan di Atas Kuburan (2015), Toba Dream (2015), dan Ngeri Ngeri Sedap (2022).

Film paling fenomenal adalah Ngeri Ngeri Sedap. Meski nihil dari Festival Film Indonesia (FFI) 2022, namun dari Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) 2022, film buatan Bene Dion Rajagukguk ini sukses meraih 7 penghargaan untuk genre komedi sebagai film terbaik, sutradara terbaik, penulis skenario terbaik, dan unsur sinematik lainnya (terbanyak di antara nominator lainnya).

Trending di lini masa dan riuh dibicarakan netizen, box office di bioskop, serta mencapai puncak di Top Ten platform digital Netflix Indonesia, Ngeri Ngeri Sedap juga diutus mewakili Indonesia ke Academy Awards ke-95 atau Piala Oscar 2023. Keren, bukan?

Dengan demikian, setelah Naga Bonar (1987), inilah kali kedua film bernuansa Batak  menjadi duta Indonesia ke Piala Oscar, ajang film paling bergengsi di dunia itu.

Berikut adalah  daftar film Indonesia berlatar Batak yang dirilis sepanjang periode 2010 sampai dengan sekarang, yaitu Rongkap (2010), Demi Ucok (2012), Mursala (2013), Lamaran (2015), Bulan di Atas Kuburan (2015), Toba Dream (2015), Cahaya Cinta Pesantren (2016), Horas Amang: Tiga Bulan untuk Selamanya (2019), Pariban, Idola dari Tanah Jawa (2019), Nariti: Romansa Danau Toba (2022),  dan Ngeri Ngeri Sedap (2022).

Daftar Isi:

Ada Apa dengan Batak?

Selain Batak, etnik lainnya yang kerap langganan latar film Indonesia adalah Jawa, Sunda, Betawi, Melayu, Minangkabau, dan beberapa suku lainnya di Kalimantan, Bali, Sulawesi, dan Indonesia timur . Keragaman budaya di Indonesia memang khas. Nilai adat,  tradisi, karakter, dan kehidupan sosialnya juga unik.

Bagaimanakah unsur etnik itu diperlakukan? Pertama, hanya meminjam karakter dan dialek etnik untuk menggambarkan sosok tokoh dalam cerita. Kedua, sekadar memanfaatkan lingkungan tinggal etnik sebagai setting cerita. Dus, dua-duanya, minim kaitannya dengan tradisi etnik bersangkutan.  

Ketiga,  inilah tema yang benar-benar berhubungan dengan unsur etnik sebab menjangkau lebih dalam keunikan nilai tradisi itu ke dalam cerita. Tema besar cerita diramu sedemikian rupa menjadi konsumsi publik, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya pun dapat diterima secara universal.

Bicara Batak, pertama-tama yang sudah terbayang adalah streotip orang Batak yang keras, ambisius, tegas,  percaya diri, dinamis, gigih, dan pantang menyerah. Sebaliknya,  orang Batak juga dikenal penyayang, berestetika tinggi, tidak pendendam, toleran, dan setia kawan.

Juga yang sangat melekat pada streotip orang Batak itu adalah ketaatan yang tinggi terhadap adat dan tradisi dengan segala aturan bakunya. Tradisi itu sendiri dikenal patrilineal, berkerabat, sekaligus religius di mana nilai utama adat dan tradisi itu beriringan dengan moral dan akhlak sesuai agama yang dianut.

Orang Batak menempati urutan ketiga terbanyak populasinya di Indonesia setelah Jawa dan Sunda. Bonus demografi tersebut, ditambah tradisi merantau yang kuat,  itulah yang serta merta membuat orang Batak inklusif, dan nilai tradisinya itu pun cepat membaur mewarnai kebudayaan nasional. Tak salah jika ada adagium, bahwa orang Batak itu mewakili budaya orang Sumut.

Salah satu keunggulan orang Batak  adalah kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap peradaban modern, sekaligus masih memegang teguh nilai adat dan tradisi.

Penjelasan singkat mengenai karakter dan tradisi orang Batak dikaitkan dengan tema kekinian, itulah faktor yang membuat latar Batak tetap mewarnai perfilman di negeri ini. Banyak kisah yang hadir di tengahnya. Bentang alam eksotis dan  seni musik yang indah, sekaligus juga melengkapi film sebagai karya sinematik.

Penasaran seperti apa nuansa Batak itu dalam perfilman Indonesia? Berikut deretannya!

Turang

Perfilman Indonesia dibagi dalam beberapa tahun periode. Setelah periode penjajahan kolonial Belanda dan pendudukan Jepang, periode berikutnya adalah 1950 – 1959, periode mana ditandai dengan kebangkitan film Indonesia dengan jargon “wajah Indonesia”-nya; penuh gagasan idealisme dan nasionalisme. (Tokoh yang dikenal kala itu adalah Usmar Ismail  ditambah deretan  seniman dan kaum terpelajar lainnya).

Peristiwa di Danau Toba (1955) merupakan film bernuansa Batak pertama. Film ini sulit ditemukan catatannya akibat gaungnya yang redup. Bisa jadi karena film tersebut diproduksi salah satu perusahaan film lokal, yaitu Radial Film, sehingga peredarannya  kemungkinan  sebatas di Sumut dengan keterbatasan panggung bioskop.

Film nuansa Batak yang fenomenal era itu adalah Turang (1957). Sutradara sekaligus penulis skenarionya adalah Bachtiar Siagian. Film ini bergenre perang perjuangan, dibumbui romantisme percintaan, menceritakan heroisme masyarakat Karo dalam revolusi kemerdekaan.

Turang diputar perdana di Istana Negara dan ditonton langsung Presiden Soekarno. Pada Festival Film Indonesia (FFI) 1960, Turang berhasil menyabet  penghargaan tertinggi sebagai film terbaik, sutradara terbaik, dan pemeran pendukung pria terbaik.

Pada periode 1960 – 1969 industri perfilman Indonesia nyaris lumpuh akibat pergolakan politik, bersamaan dengan munculnya PKI sebagai kekuatan sosial baru. Salah satu film nuansa Batak yang diproduksi kala itu adalah Piso Surit (1960). Film bergenre drama romantis ini  masih ditulis dan disutradai Bachtiar Siagian. Film nuansa Batak lainnya adalah A Sing Sing So (1963).

Jakarta Jakarta

Kurun 1970 – 1989 memperlihatkan kegairahan yang tinggi dalam industri perfilman Indonesia. Sayang, pada kurun ini wajah perfilman kita amat didominasi film-film picisan dengan selera murahan. Aspek-aspek filmis dijauhi kecuali niat mendatangkan banyak penonton; unsurnya adalah seks, hedonisme, dan kekerasan.

Pada periode 1970 – 1979, film nuansa Batak yang muncul adalah Catatan Seorang Gadis (1972), Butet: Patah Tumbuh Hilang Berganti (1974), dan Jakarta Jakarta (1978).

<em>Dok Film Jakarta Jakarta<em>

Film Jakarta Jakarta juga fenomenal. Meminjam karakter Batak mewakili kaum urban (diperankan El Manik dan Masito Sitorus), Jakarta Jakarta berhasil mengangkat satire kehidupan Jakarta di tengah deru pembangunan dan sentralisasi kekuasaan, yang menindas kaum marjinal. (Sebagai catatan, setting film ini keseluruhannya di Jakarta).

Jakarta Jakarta berhasil menyabet penghargaan tertinggi  FFI 1978 untuk kategori sutradara  terbaik (Ami Priyono), skenario asli terbaik (N Riantiarno), pemeran pria terbaik (Masito Sitorus), dan tata artis tik terbaik (Judy Soebroto).

Naga Bonar

Sepanjang periode 1980 – 1989  terdapat 5 film nuansa Batak yang dirilis, yaitu Siguragura (1980), Sorta: Tumbuh Bunga di Sela Batu (1983), Secangkir Kopi Pahit (1985),  Naga Bonar (1987), dan Akibat Kanker Payudara (1988).

Gaung Siguragura redup. Sorta, Secangkir Kopi Pahit, dan Akibat Kanker Payudara  diperbincangkan karena menggambarkan karakter dan tradisi Batak secara spesifik. Sorta ditulis Asrul Sani, sastrawan besar; sedangkan Secangkir Kopi Pahit oleh Teguh Karya, tokoh teater dan film kenamaan.

Satu-satunya film bernuansa Batak yang melegenda adalah Naga Bonar. Begitu melegendanya, film yang ditulis Asrul Sani ini dibuat sekuelnya pada tahun 2007, kemudian film aslinya dirilis ulang pada tahun 2008.

<em>Dok Film Nagabonar<em>

Pada FFI 1987, Naga Bonar memperoleh sejumlah penghargaan  dalam kategori skenario asli terbaik (Asrul Sani), pemeran pria terbaik (Dedy Mizwar), pendukung wanita terbaik (Nurul Arifin), Tata Suara Terbaik (Hadi Artomo), dan penata musik terbaik (Franki Raden).

Naga Bonar mengambil latar perang paska kemerdekaan di Sumut. Disajikan dalam komedi situasi, film ini tidak mengusung unsur etnik Batak secara spesifik, kecuali hanya meminjam karakter orang Batak karena dianggap tepat  menggambarkan watak heroisme dan patriotisme. Karakter orang Batak  dalam tokoh sekaligus juga secara didaktik mengajarkan kepatuhan, persahabatan, dan keinginan hidup berdampingan dengan makhluk lain.

Periode 1990 – 1997 merupakan kurun mati surinya perfilman Indonesia. Produksi  menurun drastis. Hal ini dipengaruhi krisis ekonomi, maraknya sinetron di televisi swasta, mismanajemen perusahaan perfilman,  persaingan dengan film asing, serta hadirnya VCD, LD, dan DVD yang memudahkan masyarakat menonton film impor.

Film Indonesia bangkit kembali pada tahun 1998, sebagaimana ditandai dengan pertumbuhan dalam jumlah produksi dan menguasai sebagian besar layar bioskop di tanah air. Salah satu faktor pendukung adalah terbitnya UU No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman.  

Pada perkembangan selanjutnya terjadilah regenerasi, munculnya sineas muda kreatif, penggunaan kamera digital, dan promosi masif di media sosial.

Film bernuansa Batak pada periode ini adalah Naga Bonar (Jadi) 2 (2007). Film sekuel Naga Bonar (1987) ini menorehkan catatan prestius dalam perfilman Indonesia, baik dari capaian jumlah penonton (terlaris sepanjang 2007) dan banyaknya penghargaan; keseluruhan meraih 31 award dari berbagai festival film tanah air dan mancanegara.

Berikutnya adalah perkembangan film bernuansa Batak sejak tahun 2010 sampai degan sekarang (2023), sebagaimana telah disinggung di awal catatan ini.

Sokola Rimba dan Metanoia

Sebelum lupa, sebuah film kisah nyata berlatar Batak juga dirilis pada tahun 2013, judulnya Sokola Rimba. Film karya Riri Reza ini diadaptasi dari novel Butet Manurung (dengan judul yang sama). Film ini bercerita tentang Butet Manurung, seorang aktivis sosial dan antropolog  yang mengajarkan pelajaran membaca, menulis, dan berhitung kepada anak-anak Suku Anak Dalam atau Orang Rimba (Kubu), di pedalaman Jambi. 

Latar Batak dalam Sokolo Rimba sama sekali tidak berkaitan dengan unsur tradisi Batak, semata-mata hanya menampilkan sosok Butet Manurung, tokoh sentral yang kebetulan berdarah Batak. Selebihnya adalah latar dan setting unsur etnik Suku Anak Dalam. 

Dalam waktu dekat, perfilman Indonesia juga akan diramaikan film bernuansa Batak, berjudul Metanoia. Film yang diangkat dari kisah nyata Esra Manurung, seorang perempuan Batak pejuang kehidupan, entrepreneur terkenal, dan diadaptasi dari buku “Perempuan di Rumah Bercahaya Emas”, menurut kabar akan rilis dalam tahun ini (2023).    

Penutup

Produksi film berlatar Batak tidak sebanyak film berlatar Jawa, Sunda, dan Betawi. Namun, harus diakui, film berlatar Batak tersebut lebih didominasi film berkualitas plus alias “bukan kaleng-kaleng”.

Uniknya, dominan film itu  dibuat oleh produser dan sineas di luar suku Batak, demikian pula dengan para pemerannya. Di antara sineas tersebut terdapat  seniman dengan rekam jejak yang hebat di bidangnya, yaitu Asrul Sani, Teguh Karya, N. Riantiarno, dan Ami Priyono.  

Casting masih menerapkan model bintang, yaitu memilih aktor dan aktris terkenal sekaliber Mieke Wijaya,  Zainal Abidin, Aedy Moward, Wahab Abdi, Debby Cynthia Dewi, Deddy Mizwar, Rina Hasyim, Ricca Rachim, Yati Octavia, Mathias Muchus, Alex Komang, Ray Sahetapy, Nurul Arifin, Tora Sudiro, Vino Bastian, dan lain-lain. Casting tersebut, tentu saja disesuaikan dengan karakter tokoh yang dilakonkan dalam film.

Yang menggembirakan adalah munculnya penulis skenario dan atau sutradara muda Batak yang kreatif setelah sang legenda Bachtiar Siagian. Mereka adalah Sammaria Simanjuntak (Demi Ucok), Edo WF Sitanggang (Bulan di Atas Kuburan),  dan Bene Dion Rajagukguk (Ngeri Ngeri Sedap).

(Disarikan dari berbagai sumber, dan berdasarkan pengamatan  terhadap film yang pernah ditonton penulis).

Pariban, Idola dari Tanah Jawa

Horas!! Bagi muda-mudi Batak, kata Pariban tentu sudah tidak asing lagi. Diartikan secara umum, pariban adalah saudara sepupu yang di dalam adat batak sangat direkomendasikan oleh orangtua sebagai pasangan anaknya...
Subscribe

Tonton Video terbaru di Kanal Youtube BATAKKEREN Official